7. HUKUM SHALAT JUM’AT PADA HARI RAYA.
Hukum shalat tersebut tampak pada hadits Zaid bin Arqam yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, an-Nasa-i juga Ibnu Majah dengan lafazh:
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيْدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِـي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ.
“Bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ‘Id, kemudian beliau memberikan keringanan pada shalat Jum’at di hari raya tersebut. Beliau ber-sabda, ‘Barangsiapa ingin melakukan shalat Jum’at, maka lakukanlah.’”
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at yang dilakukan setelah, shalat ‘Id hukumnya rukhshah (diringankan) untuk setiap orang [1], seandainya semua orang meninggalkannya, maka sungguh mereka telah mengamalkan keringanan tersebut, dan jika sebagian-nya melakukan, maka mereka mendapatkan pahala, shalat tersebut sama sekali tidak wajib baginya tanpa membedakan antara imam dan yang lainnya.
Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnul Madini dan dihasankan oleh an-Nawawi. Ibnul Jauzi berkata, “Hadits tersebut adalah yang paling shahih dalam bab ini.” [2]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i dan al-Hakim dari Wahab bin Kaisan, beliau berkata:
اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَـالَى النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ النَّاسُ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ فَذُكِرَ ذلِكَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ.
“Pada masa Ibnu az-Zubair dua ‘Id ('Id dan Jum’at) berbarengan, lalu beliau mengakhirkan keluar sehingga matahari meninggi, kemudian beliau keluar dan berkhutbah, beliau berkhutbah dengan lama sehingga beliau turun, yang dilanjutkan dengan shalat, kala itu orang-orang tidak melaksanakan shalat Jum’at,” kemudian peristiwa tersebut diceritakan kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, lalu beliau berkata, “Ia telah melakukannya sesuai dengan Sunnah.”
Perawi hadits ini shahih.
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dari ‘Atha sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wahab bin Kaisan, dengan para perawi yang shahih dari kitab shahih.
Dari semua dalil yang telah kami sebutkan menunjukkan bahwa shalat Jum’at yang terjadi setelah shalat ‘Ied adalah rukhshah (keringanan) bagi setiap muslim, dan Ibnu az-Zubair pernah meninggalkannya pada masa kekhilafahannya sebagaimana yang telah diungkapkan, dan tidak ada seorang pun dari kalangan para Sahabat yang mengingkarinya.[3]
8. HUKUM MANDI UNTUK SHALAT JUM’AT.
Hadits-hadits shahih yang diriwayatkan di dalam ash-Shahiihain dan yang lainnya dari jalan sejumlah Sahabat memastikan bahwa mandi pada hari Jum’at wajib hukumnya, akan tetapi ada pula riwayat yang menunjukkan tidak wajib, sebagaimana diriwayatkan oleh Ash-haabus Sunan, yang masing-masing riwayat di dalamnya saling menguatkan. Maka kewajiban yang diriwayatkan di dalam ash-Shahiihain wajib ditakwil dengan Ta-kiidul Masyru’iyyah, (peribadatan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan-pent.) dengan cara penggabungan berbagai hadits, walaupun kata wajib tidak dapat dipalingkan dari makna yang sebenarnya, kecuali jika ada dalil yang memalingkan-nya sebagaimana yang kami ungkapkan, akan tetapi menggabungkan di antara hadits lebih didahulukan dari pada cara tarjih (mengambil dalil yang paling kuat dan mengamalkannya-pent.), walaupun harus dengan sudut pandang yang jauh.[4]
Dan ketahuilah sesungguhnya hadits:
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ.
“Jika salah satu di antara kalian akan datang untuk melakukan shalat Jum’at, maka mandilah.”
Menunjukkan bahwa mandi tersebut untuk shalat Jum’at, dan barangsiapa melakukannya untuk tujuan lain, maka dia belum mengamalkan sesuatu yang disyari’atkan di dalam hadits ini. Sama saja dia melakukannya di awal hari, pertengahan atau dipenghujungnya.
Ungkapan di atas diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan yang lainnya secara Marfu:
مَنْ أَتَى الْجُمُعَةَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فَلْيَغْتَسِلْ.
“Barangsiapa datang untuk melakukan shalat Jum’at dari kalangan pria atau wanita, maka hendaklah ia mandi.”
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ada tambahan:
وَمَنْ لَمْ يَأْتِهَا فَلَيْسَ عَلَيْهِ غُسْلٌ.
“Dan barangsiapa yang tidak menghadirinya, maka ia tidak berkewajiban untuk mandi.”
Berkata penulis (al-Albani), “Hadits di atas dengan tambahan “wanita” adalah ganjil, tidak shahih sama sekali. Justeru riwayat yang shahih adalah tanpa penyebutan “pria dan wanita”. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan selain mereka telah saya teliti yang demikian itu dalam kitab adh-Dha’iifah (no. 3958).”
[Disalin dari kitab Al-Ajwibah an-Naafi’ah ‘an As-aalah Lajnah Masjidil Jaami’ah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Edisi Indonesia APAKAH ADZAN PADA SHALAT JUM’AT SATU KALI ATAU DUA KALI? Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit PUSTAKA IBNU KATSIR - Bogor]
_______
Footnote
[1]. Maksudnya adalah orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id pada hari Jum’at tersebut, beda lagi dengan orang yang tidak melakukannya. Demikianlah ash-Shan’ani mengkhususkannya (II/ 73).
[2]. Komentar saya (Syaikh al-Albani): Hadits ini tidak diragukan keshahihannya, beliau telah menyebutkan hadits tersebut dengan beberapa penguatnya di dalam kitab asli, di antaranya adalah hadits Ibnu az-Zubair yang akan dijelaskan setelahnya, dan di dalamnya terdapat manfaat yang sangat penting sekali, yaitu bahwa shalat ‘Id wajib hukumnya sebagaimana shalat Jum’at, jika tidak demikian, niscaya tidak akan gugur kewajiban shalat Jum’at, lihatlah kitab asli (hal. 43).
[3]. Komentar saya: Ada sedikit masalah di dalam takhrij ini, Se-sungguhnya Abu Dawud tidak meriwayatkan hadits ini dari Wahab bin Kaisan secara mutlak, tetapi hanya an-Nasa-i (I/ 236) dan al-Hakim (I/ 296) yang meriwayatkannya dengan lafazh:
فَقَالَ : أَصَابَ ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ، فَبَلَغَ ابْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ: رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ إِذَا اجْتَمَعَ عِيْدَانِ صَنَعَ مِثْلَ هذَا.
“Maka beliau berkata, ‘Ibnu az-Zubair telah melakukan Sunnah, lalu berita tersebut sampai kepada Ibnu az-Zubair, ia berkata, ‘Aku melihat ‘Umar bin al-Khaththab, jika dua hari ‘Id ber-barengan, maka beliau melakukan seperti ini.’”
Al-Hakim berkata, “Shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi, akan tetapi hanya berdasarkan syarat Muslim. Sedangkan di dalam jalan ‘Atha', ia adalah Ibnu Abi Rabbah terdapat tambahan lafazh:
ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا، فَصَلَّيْنَا وَحْدَانًا .
“Kemudian kami pergi untuk melaksanakan shalat Jum’at, akan tetapi beliau tidak keluar sehingga kami shalat dengan sendiri-sendiri.”
Perawi hadits ini adalah para perawi shahih sebagaimana yang diungkapkan oleh penulis, akan tetapi di dalamnya ada ‘An’anah (periwayatan dengan menggunakan lafazh ‘an.-pent.) oleh al-A’masy.
[4]. Komentar saya: Tidak diragukan bahwa penggabungan dalil lebih didahulukan daripada tarjih, akan tetapi menyatukan dalil dengan sudut pandang yang jauh, seperti yang dilakukan oleh penulis (Syaikh Shidiq Hasan Khan rahimahullah) adalah sesuatu yang kurang memuaskan, saya memandang semoga ada yang lebih dekat, sebelumnya saya sudah membaca ungkapan sebagian Imam yang bisa memuaskan, maka saya menukil ungkapan beliau agar dapat Anda renungkan, yang pada akhirnya bisa lebih memuaskan dan dapat diikuti. Ibnu Hazm rahimahullah berkata di dalam kitabnya al-Muhalla (II/ 14) setelah beliau mengungkapkan hadits:
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَيِهَا وَنِعْمَتْ، وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ.
“Barangsiapa berwudhu’ pada hari Jum’at, maka alangkah baik-nya, dan barangsiapa mandi, maka mandi itu lebih utama.”
Dan hadits-hadits yang semakna dengannya yang diisyaratkan oleh penulis di atas, beliau katakan, “Seandainya hadits-hadits tersebut shahih, maka di dalamnya sama sekali tidak ada nash atau sesuatu yang menunjukkan bahwa mandi untuk shalat Jum’at adalah tidak wajib, yang ada hanyalah penjelasan bahwa wudhu’ adalah merupakan sebaik-baik amalan, akan tetapi mandi lebih utama darinya, dan ini adalah sesuatu yang tidak diragukan. Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Seandainya Ahlul Kitab ini beriman, tentu lebih baik bagi mereka,” Maka apakah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ini menunjukkan bahwa iman dan takwa bukan merupakan kewajiban?! Tidak, tentu saja tidak. Kemudian seandainya di dalam semua hadits tersebut ada nash yang menunjukkan bahwa mandi pada hari Jum’at bukan merupakan kewajiban, niscaya hal itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena kenyataan tersebut hanya sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum ungkapan:
غَسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلَِّ مُحْتَلِمٍ.
“Mandi pada hari Jum’at merupakan kewajiban bagi setiap orang yang sudah baligh.”
وَعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Dan kepada setiap muslim.”
Semua sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini jelas merupakan tambahan yang menghapus keadaan pertama, karena itu tidak mungkin mengambil sesuatu dengan hukum yang dihapusnya.