Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah/cobaan yang lebih membahayakan bagi kaum pria daripada fitnah kaum wanita.” (HR. Muslim [2740])
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Allah ingin melihat bagaimana perbuatan kalian. Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah dunia dan takutlah kalian akan fitnah kaum wanita. Karena sesungguhnya fitnah pertama di kalangan Bani Isra’il adalah dalam masalah wanita.” (HR. Muslim [2742])
Imam an-Nawawi
rahimahullah menjelaskan,
“Termasuk dalam kategori wanita yang dimaksud oleh hadits ini adalah para istri maupun selain mereka. Dan yang paling banyak fitnahnya adalah para istri karena fitnah mereka terus-menerus menyertai dan kebanyakan orang pun telah terfitnah dengannya.” (lihat
Syarh Muslim [9/8] cet. Dar Ibnu al-Haitsam)
[1] Perintah Menjaga Pandangan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada kaum lelaki yang beriman hendaknya mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Hal itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa saja yang kalian lakukan.” (QS. an-Nuur: 30)
Salah seorang yang salih mengatakan,
“Barangsiapa yang memakmurkan penampilan lahirnya dengan ittiba’/mengikuti sunnah dan menghiasi batinnya dengan senantiasa muroqobah/merasa diawasi Allah, menundukkan pandangannya dari sesuatu yang diharamkan, menahan dirinya dari hal-hal yang syubhat/samar-samar, dan mengkonsumsi makanan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan meleset.” (lihat
Tazkiyat an-Nufus, hal. 39)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantikan untuknya yang lebih baik darinya. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya maka Allah akan menjadikan mata hatinya kembali bersinar.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [5/409])
[2] Perisai Untuk Menghadapi Fitnah
Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah mengatakan,
“Fitnah syubhat ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itu Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan keyakinan akan dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan penangkal fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah penangkal fitnah syahwat” (Lihat
adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/134],
Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah melakukan amal-amal (ketaatan) sebelum datangnya fitnah-fitnah (cobaan dan godaan) yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu itu, seseorang di pagi hari masih beriman namun di sore harinya telah menjadi kafir. Atau di sore hari beriman, lalu di pagi harinya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim [118])
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak disenangi, sedangkan neraka diliputi dengan hal-hal yang disenangi oleh nafsu.” (HR. Muslim [2822])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjaga apa yang ada diantara kedua jenggotnya dan apa yang ada diantara kedua kakinya niscaya dia akan masuk Surga.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)
Dikisahkan bahwa pada suatu malam ada seorang lelaki yang merayu seorang wanita di tengah padang pasir. Akan tetapi
wanita itu enggan memenuhi ajakannya. Maka lelaki itu berkata,
“Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang.” Wanita itu pun berkata,
“Kalau begitu, dimanakah yang menciptakan bintang-bintang itu?!” (lihat
Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 33)
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang, yang mana seorang lelaki di antara mereka kepalanya berada satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang berada di bawah pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari hal itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang salah seorang di antara mereka berdiri di shaf [sholat] hingga air matanya mengaliri pipinya sedangkan orang di sampingnya tidak mengetahui.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 249)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berbuat zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata dalam syairnya,
Kulihat tumpukan dosa mematikan hati
Mengidapnya membuat diri bertambah hina
Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
Yang terbaik untukmu tentu mencampakkannya
(lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 32)
Hati yang sehat dan sempurna memiliki dua karakter yang melekat padanya.
Karakter pertama; kesempurnaan
ilmu, pengetahuan, dan keyakinan yang tertancap di dalam hatinya.
Karakter kedua; kesempurnaan kehendak hatinya terhadap segala perkara yang dicintai dan diridhai Allah ta’ala. Dengan kata lain, hatinya senantiasa menginginkan kebaikan apapun yang dikehendaki oleh Allah bagi hamba-Nya. Kedua karakter ini akan berpadu dan melahirkan profil hati yang bersih, yaitu hati yang mengenali kebenaran dan mengikutinya, serta mengenali kebatilan dan meninggalkannya. Orang yang ilmunya dipenuhi dengan syubhat/kerancuan dan keragu-raguan, itu artinya dia telah kehilangan karakter yang pertama. Adapun orang yang keinginan dan cita-citanya selalu mengekor kepada hawa nafsu dan syahwat, maka dia telah kehilangan karakter yang kedua. Seseorang bisa tertimpa salah satu perusak hati ini, atau bahkan -yang lebih mengerikan lagi- adalah keduanya bersama-sama menggerogoti kehidupan hatinya (lihat al-Qawa’id al-Hisan, hal. 86)
[3] Sumber Kemaksiatan
Dalam kitabnya al-Fawa’id, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Sumber segala bentuk kemaksiatan yang besar ataupun yang kecil ada tiga: ketergantungan hati kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara murka, dan mengumbar kekuatan nafsu syahwat. Wujudnya adalah syirik, kezaliman, dan perbuatan keji. Puncak ketergantungan hati kepada selain Allah adalah kemusyrikan dan menyeru sesembahan lain sebagai sekutu bagi Allah. Puncak memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya pembunuhan. Adapun puncak mengumbar kekuatan nafsu syahwat adalah terjadinya perzinaan.”
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa Allah ta’ala telah memadukan ketiga hal ini dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyeru bersama Allah sesembahan yang lain, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali apabila ada alasan yang benar, dan mereka juga tidak berzina.” (QS. al-Furqan: 68). Ketiga jenis dosa ini saling menyeret satu dengan yang lainnya. Syirik akan menyeret kepada kezaliman dan perbuatan keji, sebagaimana halnya keikhlasan dan tauhid akan menyingkirkan kedua hal itu dari pemiliknya (ahli tauhid). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah, Kami palingkan darinya -Yusuf- keburukan dan perbuatan keji, sesungguhnya dia termasuk kalangan hamba pilihan Kami (yang ikhlas).” (QS. Yusuf: 24)
Beliau menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘keburukan’ (as-Suu’) di dalam ayat tadi adalah mabuk asmara (‘isyq), sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan keji (al-fakhsya’) adalah perzinaan. Maka demikian pula kezaliman akan bisa menyeret kepada perbuatan syirik dan perbuatan keji. Sesungguhnya syirik itu sendiri merupakan kezaliman yang paling zalim, sebagaimana keadilan yang paling adil adalah tauhid. Keadilan pendamping tauhid, sedangkan kezaliman pendamping syirik.”
Oleh sebab itu Allah menyebutkan kedua hal itu secara berdampingan. Adapun yang pertama -keadilan sebagai pendamping tauhid- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, demikian juga bersaksi para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam rangka menegakkan keadilan.” (QS. Ali Imran: 18). Adapun yang kedua -kezalimaan sebagai pendamping syirik- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang sungguh-sungguh besar.” (QS. Luqman: 13). Sementara itu, perbuatan keji pun bisa menyeret ke dalam perbuatan syirik dan kezaliman. Terlebih lagi apabila keinginan untuk melakukannya sangat kuat dan hal itu tidak bisa didapatkan selain dengan menempuh tindakan zalim serta meminta bantuan sihir dan setan.
Allah juga menggandengkan antara zina dengan syirik di dalam firman-Nya (yang artinya), “Seorang lelaki pezina tidak akan menikah kecuali dengan perempuan pezina pula atau perempuan musyrik. Demikian juga seorang perempuan pezina tidak akan menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur: 3).
Ibnul Qayyim menegaskan,
“Ketiga perkara ini saling menyeret satu dengan yang lainnya dan saling mengajak satu sama lain. Oleh sebab itu, tatkala semakin lemah tauhid dan semakin kuat syirik di dalam hati seseorang maka semakin banyak pula perbuatan keji yang dilakukan, dan semakin besar ketergantungan hatinya kepada gambar-gambar -yang terlarang- serta semakin kuat pula kerinduan yang menggelayuti hatinya terhadap gambar/rupa tersebut.” (lihat
al-Fawa’id, hal. 78-79)
—