Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Pengertian Bid’ah
Bid’ah sama artinya dengan al-ikhtira’ yaitu sesuatu yang baru, yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya.[1]
Bid’ah secara bahasa (etimologi) adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna.[2] Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan.[3] Apabila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya...” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya.[4]
Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah pencipta langit dan bumi...” [Al-Baqarah: 117]
Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.[5]
Bid’ah secara istilah (terminologi) memiliki beberapa definisi yang saling melengkapi menurut penjelasan para ulama, di antaranya:
Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Beliau rahimahullah mengungkapkan: “Bid’ah dalam Islam adalah segala yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau bentuk anjuran.”[6]
Bid’ah itu sendiri ada dua macam: Pertama, bid’ah dalam bentuk ucapan atau keyakinan. Kedua, bid’ah dalam bentuk perbuatan dan ibadah. Bentuk kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk pertama dapat menggiring pada bentuk yang kedua.[7] Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal dalam masalah keduniaan dibolehkan kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Ibadah asal mulanya tidak diperbolehkan, kecuali yang disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan segala sesuatu (selain ibadah) asal mulanya diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah.[8]
Beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullah) juga menyatakan: “Bid’ah adalah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau ijma’ para ulama as-Salaf berupa ibadah maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah dan Jahmiyyah. Mereka beribadah dengan tarian dan nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka beribadah dengan cara mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan berbagai bid’ah lainnya yang dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian golongan yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wallaahu a’lam.”[9]
Imam asy-Syathibi rahimahullah (wafat tahun 790 H):[10]
Beliau menyatakan:
اَلْبِدْعَةُ: طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ ِللهِ سُبْحَانَهُ.
“Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.”
Ungkapan: “Cara baru dalam agama,” maksudnya bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasar-nya dalam syari’at.
Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang ke luar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.
Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang tidak ada ketentuannya dalam syari’at.
Ungkapan “untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan dalam firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56). Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum men-cukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[11]
Beliau rahimahullah juga mengungkapkan definisi lain: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at.”[12]
Beliau rahimahullah menetapkan definisi yang kedua tersebut bahwa kebiasaan itu bila dilihat sebagai kebiasaan semata tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah. Dengan cara itu, berarti beliau telah mengkorelasikan berbagai definisi yang ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang pasti mengandung nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan, perceraian, penyewaan, hukum pidana,... karena semuanya itu diikat oleh berbagai hal, per-syaratan dan kaidah-kaidah syari’at yang tidak menyediakan pilihan lain bagi seorang muslim selain ketetapan baku itu.[13]
Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat th. 795 H) rahimahullah :[14]
Beliau rahimahullah menyebutkan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.
Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang di-maksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.
Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththab rahimahulla, ketika beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau rahimahullah keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka beliau rahimahullah berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[15]
B. Pembagian Bid’ah[16]
1. Bid’ah Haqiqiyyah
Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak memiliki indikasi sama sekali dari syar’i baik dari Kitabullah, As-Sunnah ataupun Ijma’. Serta tidak ada dalil yang digunakan oleh para ulama baik secara global maupun rinci. Oleh sebab itu, disebut sebagai bid’ah karena ia merupakan hal yang dibuat-buat dalam perkara agama tanpa contoh sebelumnya.[17]
Di antara contohnya adalah bid’ahnya perkataan Jahmiyyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, bid’ahnya Qadariyyah, bid’ahnya Murji’ah dan lainnya yang mereka mengatakan apa-apa yang tidak dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Contoh lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup kependetaan (seperti pendeta) dan mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Isra’ Mi’raj dan lainnya.
2. Bid’ah Idhafiyyah
Adapun bid’ah Idhafiyyah adalah bid’ah yang mempunyai dua sisi. Pertama, terdapat hubungannya dengan dalil. Maka dari sisi ini dia bukan bid’ah. Kedua, tidak ada hubungannya samasekali dengan dalil melainkan seperti apa yang terdapat dalam bid’ah haqiqiyyah. Artinya ditinjau dari satu sisi ia adalah Sunnah karena bersandar kepada As-Sunnah, namun ditinjau dari sisi lain ia ada-lah bid’ah karena hanya berlandaskan syubhat bukan dalil.
Adapun perbedaan antara keduanya dari sisi makna adalah bahwa dari sisi asalnya terdapat dalil padanya. Tetapi jika dilihat dari sisi cara, sifat, kondisi pelaksanaannya atau perinciannya, tidak ada dalil sama sekali, padahal kala itu ia membutuhkan dalil. Bid’ah semacam itu kebanyakan terjadi dalam ibadah dan bukan kebiasaan semata.
Atas dasar ini, maka bid’ah haqiqi lebih besar dosanya karena dilakukan langsung oleh pelakunya tanpa perantara, sebagai pe-langgaran murni dan sangat jelas telah keluar dari syari’at, seperti ucapan kaum Qadariyyah yang menyatakan baik dan buruk menurut akal, mengingkari hadits ahad sebagai hujjah,[18] mengingkari adanya Ijma’, mengingkari haramnya khamr, mengatakan bahwa para Imam adalah ma’shum (terpelihara dari dosa)[19] ... dan hal-hal lain yang seperti itu.[20]
Dikatakan bid’ah Idhafiyyah artinya bahwa bid’ah itu jika ditinjau dari satu sisi disyari’atkan tetapi dari sisi lain ia hanya pendapat belaka. Sebab dari sisi orang yang membuat bid’ah itu dalam sebagian kondisinya masuk dalam kategori pendapat pribadi dan tidak didukung oleh dalil-dalil dari setiap sisi.[21]
Sebagai contoh bid’ah di sini adalah dzikir jama’i. Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dianjurkan dalam syari’at Islam, namun apabila dilaksanakan dengan berjama’ah, beramai-ramai (massal) dan dengan satu suara, maka amalan ini tidak ada contohnya dalam syari’at Islam.
C. Hukum Bid’ah Dalam Agama Islam
Sesungguhnya agama Islam sudah sempurna setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasihati ummatnya. Kewajiban seluruh ummat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[22]
Demikian juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak”[23]
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.
Ada bid’ah yang menyebabkan kekufuran (Bid’ah Kufriyah), seperti berthawaf keliling kuburan untuk mendekatkan diri kepada para penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada mereka, meminta keselamatan kepada mereka, demikian juga pendapat kalangan Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Rafidhah.
Ada juga bid’ah yang menjadi sarana kemusyrikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdoa di atas kuburan dan mengkhususkan ibadah di sisi kubur.
Ada juga perbuatan bid’ah yang bernilai kemaksiyatan, seperti bid’ah membujang -yakni menghindari pernikahan- puasa sambil berdiri di terik panas matahari, mengebiri kemaluan dengan niat menahan syahwat dan lain-lain.[24]
Ahlus Sunnah telah sepakat tentang wajibnya mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, yaitu tiga generasi yang terbaik (Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in) yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambahwa mereka adalah sebaik-baik manusia. Mereka juga sepakat tentang keharamannya bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan kebinasaan, tidak ada di dalam Islam bid’ah yang hasanah.
Ibnu ‘Umar Rdadhiyallahu anhuma berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik.”[25]
Imam Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H)[26] berkata:
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا.
“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiyatan dan pelaku kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.”[27]
Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari (beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada zamannya, wafat th. 329 H.) rahimahullah berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”[28]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawaadits wal Bida’ (hal. 40), dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari.
[2]. Mukhtaarush Shihaah (hal. 44).
[3]. Al-Qamuus al Muhiith, Lisaanul ‘Arab dan al-Fataawaa karya Ibnu Taimiyyah.
[4]. Mu’jamul Maqaayis fil Lughah (hal. 119).
[5]. Mufradaat Alfaazhil Qur-an (hal. 111) oleh ar-Raaghib al-Ashfahani, materi kata bada’a.
[6]. Majmuu’ Fataawaa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/107-108).
[7]. Ibid, (XXII/306).
[8]. Ibid, (IV/196).
[9]. Ibid, (XVIII/346 dan XXXV/414).
[10]. Al-I’tisham (hal. 50), Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. II/Daar Ibni ‘Affan, 1414 H.
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 24-25) oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12]. Al-I’tishaam (hal. 51).
[13]. Al-I’tishaam (II/568, 569, 570, 594). Lihat juga Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah oleh Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthany (hal. 30-31).
[14]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (hal. 501, cet. II/Daar Ibnul Jauzi, th. 1420 H) tahqiq Thariq bin ‘Awadillah bin Muhammad. Lihat Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah (hal. 30-31).
[15]. Shahiihul Bukhari (no. 2010).
[16]. Lihat al-I’tishaam (I/367 dan seterusnya).
[17]. Ibid.
[18]. Sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dan orang-orang yang serupa dengannya. Lihat kitab ‘Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 148).
[19]. Seperti yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyyah.
[20]. Al-I’tishaam (I/221).
[21]. Ibid.
[22]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44), dari Sahabat Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, hasan shahih.
[23]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[24]. Lihat Kitaabut Tauhiid (hal. 82 ) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah (hal. 76-77).
[25]. Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 126), Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibaanah (no. 205). Lihat ‘Ilmu Ushuulil Bid’ah (hal. 92).
[26]. Nama lengkap beliau adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri, Abu ‘Ab-dillah al-Kufi, seorang hafizh yang tsiqah, faqih, ahli ibadah dan Imaamul hujjah. Beliau wafat tahun 161 H pada usia 64 tahun. Lihat biografi beliau dalam kitab Taqriibut Tahdziib (I/371).
[27]. Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 238).
[28]. Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahary (no. 7), tahqiq Khalid bin Qasim ar-Radadi, cet. II/Darus Salaf, th. 1418 H.