Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sesungguhnya orang yang mau berfikir obyektif, jika ia mau melakukan perbandingan antara berbagai keyakinan yang ada di antara ummat manusia saat ini, niscaya ia menemukan beberapa karakteristik dan ciri-ciri dari ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang merupakan ‘aqidah Islamiyyah yang haqq (benar) berbeda dengan lainnya.
Di antara karakter dan ciri-ciri ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
1. Keotentikan Sumbernya.
Hal ini karena ‘aqidah Ahlus Sunnah semata-mata hanya bersandarkan kepada Al-Qur-an, hadits dan ijma’ para ulama Salaf serta penjelasan dari mereka. Ciri ini tidak terdapat pada aliran-aliran mutakallimin (pengagung ilmu kalam), ahli bid’ah dan kaum Shufi yang selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau ke-pada kasyaf, ilham, wujud dan sumber-sumber lain yang berasal dari manusia yang lemah. Mereka jadikan hal tersebut sebagai patokan atau sandaran di dalam masalah-masalah yang ghaib.
Sedangkan Ahlus Sunnah selalu berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ijma’ Salafush Shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka. Jadi: ‘aqidah apa saja yang bersumber dari selain Al-Qur-an, hadits, ijma’ Salaf dan penjelasan mereka itu, maka termasuk kesesatan dan kebid’ahan.[2]
2. Berpegang Teguh Kepada Prinsip Berserah Diri Kepada Allah Dan Kepada Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam.
‘Aqidah adalah masalah yang ghaib, dan hal yang ghaib itu hanya tegak dan bersandar kepada kepasrahan (taslim) serta keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada Allah (dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maksudnya, hal tersebut adalah apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya (wajib diterima dan diyakini sepenuhnya). Taslim merupakan ciri dan sifat kaum beriman yang karenanya mereka dipuji oleh Allah, seraya berfirman:
الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
“Alif Laam Miim. Kitab Al-Qur-an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka beriman kepada yang ghaib...” [Al-Baqarah: 1-3]
Perkara ghaib itu tidak dapat diketahui atau dijangkau oleh akal. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah membatasi diri di dalam masalah ‘aqidah kepada berita dan wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Hal ini sangat berbeda dengan ahli bid’ah dan mutakallimin (ahli kalam). Mereka memahami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan. Tidak mungkin mereka mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka tidak melapangkan akal-nya[3] dengan taslim, berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula menyelamatkan ‘aqidah mereka dengan ittiba’ dan mereka menghalangi kaum Muslimin awam berada pada fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada mereka.[4]
3. Sejalan Dengan Fitrah Yang Suci Dan Akal Yang Sehat.
Hal itu karena ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jam’ah berdiri di atas prinsip ittiba’ (mengikuti), iqtida’ (meneladani) dan berpedoman kepada petunjuk Allah, bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘aqidah generasi terdahulu (Salaful Ummah). ‘Aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat serta pedoman yang lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini. Sedangkan ‘aqidah dan keyakinan golongan yang lain itu hanya berupa khayalan dan dugaan-dugaan yang membutakan fitrah dan membingungkan akal belaka.[5]
4. Mata Rantai Sanadnya Sampai Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabatnya Dan Para Tabi’in Serta Para Imam Yang Mendapatkan Petunjuk.
Tidak ada satu prinsip pun dari prinsip-prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak mempunyai dasar atau sanad atas qudwah (contoh) dari para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in serta para Imam yang mendapatkan petunjuk hingga hari Kiamat. Hal ini sangat berbeda dengan ‘aqidah kaum mubtadi‘ah (ahli bid’ah) yang menyalahi kaum Salaf di dalam ber-‘aqidah. ‘Aqidah mereka merupakan hal yang baru (bid’ah) tidak mempunyai sandaran dari Al-Qur-an dan As-Sunnah, ataupun dari para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Tabi’in. Oleh karena itu, mereka berpegang kepada kebid’ahan sedangkan setiap bid’ah adalah sesat.[6]
5. Jelas Dan Gamblang.
‘Aqidah Ahlus Sunnah mempunyai ciri khas yaitu gamblang dan jelas, bebas dari kontradiksi dan ketidakjelasan, jauh dari filsafat, serta kerumitan kata dan maknanya, karena ‘aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari firman Allah yang sangat jelas, yang tidak datang kepadanya kebathilan (kepalsuan), baik dari depan mau-pun dari belakang, dan bersumber dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya. Sedangkan ‘aqidah dan keyakinan yang lainnya berasal dari ramuan yang dibuat oleh manusia atau ta’-wil dan tahrif mereka terhadap teks-teks syar’i. Sungguh sangat jauh perbedaan sumber dari ‘aqidah Ahlus Sunnah dan kelompok yang lainnya. ‘Aqidah Ahlus Sunnah adalah tauqifiyyah (berdasarkan dalil/nash) dan bersifat ghaib, tidak ada pintu bagi ijtihad sebagaimana yang telah dimaklumi.[7]
6. Bebas Dari Kerancuan, Kontradiksi Dan Kesamaran.
Tidak ada kerancuan pada ‘aqidah Islamiyyah yang murni ini, tidak pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu karena ‘aqidah tersebut bersumber dari wahyu, kekuatan hubungan para penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyyah (penghambaan) hanya kepada-Nya semata, penuh tawakkal kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan mereka terhadap al-haqq (kebenaran) yang mereka miliki. Orang yang meyakini ‘aqidah Salaf tidak akan ada kebingungan, kecemasan, keraguan dan syubhat di dalam beragama. Berbeda halnya dengan para ahli bid’ah, tujuan dan sasaran mereka tidak pernah lepas dari penyakit bingung, cemas, ragu, rancu dan mengikuti kesamaran.
Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh terkemuka mutakallimin (ahli kalam), tokoh filosof dan para tokoh Shufi sebagai akibat dari sikap mereka menjauhi ‘aqidah Salaf. Dan sebagian mereka kembali kepada taslim dan pengakuan terhadap ‘aqidah Salaf, terutama ketika usia mereka sudah lanjut atau mereka menghadapi kematian, sebagaimana yang terjadi pada Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H) rahimahullah. Beliau telah merujuk kembali kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (‘aqidah Salaf) sebagaimana yang dinyatakan di dalam kitabnya, al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah, setelah sebelumnya menganut ‘aqidah mu’tazilah, kemudian talfiq (paduan antara ‘aqidah mu’tazilah dan ‘aqidah Salaf) dan akhirnya kembali kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal serupa juga dilakukan oleh Imam al-Baqillani (wafat th. 403 H) sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab at-Tamhiid, dan masih banyak lagi tokoh terkemuka lain-nya.[8]
7. ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Merupakan Faktor Utama Bagi Kemenangan Dan Kebahagiaan Abadi Di Dunia Dan Akhirat
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan faktor utama bagi terealisasinya kesuksesan, kemenangan dan keteguhan bagi siapa saja yang menganutnya dan menyerukannya kepada ummat manusia dengan penuh ketulusan, kesungguhan dan kesabaran. Golongan yang berpegang teguh kepada ‘aqidah ini yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang diberikan kemenangan dan pertolongan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.
“Akan tetap ada satu golongan dari ummatku yang berdiri tegak di atas al-haqq (kebenaran), tidak akan membahayakan bagi mereka orang-orang yang tidak menghiraukan mereka hingga datang perintah Allah dan mereka tetap seperti itu.”[9]
8. ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Adalah ‘Aqidah Yang Dapat Mempersatukan Ummat.
‘Aqidah Ahlus Sunnah merupakan jalan yang paling baik untuk menyatukan kekuatan kaum Muslimin, kesatuan barisan mereka dan untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari urusan agama dan dunia. Hal ini dikarenakan ‘aqidah Ahlus Sunnah mampu mengembalikan mereka kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta jalannya kaum Mukminin, yaitu jalannya para Sahabat. Keistimewaan ini tidak mungkin terealisasi pada suatu golongan mana pun, atau lembaga da’wah apapun atau organisasi apapun yang tidak menganut ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sejarah adalah saksi dari kenyataan ini! Hanya negara-negara yang berpegang teguh kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah sajalah yang dapat menyatukan kekuatan kaum Muslimin yang berserakan, hanya dengan ‘aqidah Salaf, maka jihad serta amar ma’ruf dan nahi munkar itu tegak dan tercapailah kemuliaan Islam.[10]
9. Utuh, Kokoh Dan Tetap Langgeng Sepanjang Masa.
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah utuh dan sama dalam masalah prinsipil (ushuluddin) sepanjang masa dan akan tetap seperti itu hingga hari Kiamat kelak. Artinya ‘aqidah Ahlus Sunnah selalu sama, utuh dan terpelihara baik secara riwayat maupun keilmuannya, kata-kata, maupun maknanya. Ia diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan, pencampuradukan, kerancuan dan tidak mengalami penambahan maupun pengurangan. Hal tersebut karena ‘aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari Al-Qur-an yang tidak datang kepadanya kebathilan baik dari depan maupun dari belakang dan dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbicara dengan hawa nafsu.[11]
10. Allah Menjamin Kehidupan Yang Mulia bagi Orang Yang Menetapi ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Berada dalam naungan ‘aqidah Ahlus Sunnah akan menyebabkan rasa aman dan kehidupan yang mulia. Hal ini karena ‘aqidah Ahlus Sunnah senantiasa menjaga keimanan kepada Allah dan mengandung kewajiban untuk beribadah kepada Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar. Orang yang beriman dan bertauhid akan mendapatkan rasa aman, kebaikan, kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasa aman senantiasa menyertai keimanan, apabila keimanan itu hilang maka hilang pula rasa aman.
Firman Allah:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-An’aam: 82]
Orang yang bertaqwa dan beriman akan mendapatkan rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna di dunia dan akhirat. Adapun orang yang berbuat syirik, bid’ah dan maksiyat mereka adalah orang yang selalu diliputi dengan rasa takut, was-was, tidak tenang dan tidak ada rasa aman. Mereka selalu diancam dengan berbagai hukuman dan siksaan pada setiap waktu.[12]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah; Mafhuu-muha, Khashaa-ishuha, Khashaa-ishu Ahlihaa (hal. 37) karya Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, cet. I/ tahun 1416 H dan kitab Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 37-38).
[2]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 33-34).
[3]. Hal ini tidak boleh difahami bahwa Islam mengekang akal, menonaktifkan fung-sinya dan menghapus bakat berfikir yang ada pada manusia, namun sebaliknya, Islam menyediakan bagi akal banyak sarana untuk mengetahui, mengamati, berfikir dan berkarya, sesuatu yang cukup merangsang keinginannya terhadap ciptaan Allah. Wallaahu a’lam.
[4]. Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 34).
[5]. Ibid.
[6]. Lihat Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (I/9) dan Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 35).
[7]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 35).
[8]. Lihat Majmuu’ Fataawa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (IV/72-73) dan Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 35-36).
[9]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1920) dan at-Tirmidzi (no. 2229), dari Sahabat Tsauban Radhiyallahu anhu. Perintah Allah, yaitu datangnya angin yang mewafatkan Mukmin dan Mukminah (di akhir zaman). Lihat Syarah Shahiih Muslim (XIII/66).
[10]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 37-38).
[11]. Ibid, hal. 38-39.
[12]. Lihat ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah; Mafhuumuha, Khashaa-ishuha, Khashaa-ishu Ahlihaa (hal. 37) karya Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, cet. I/ th. 1416 H, dengan sedikit tambahan.