Oleh : Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Ada empat perkara yang merupakan hak mayit yang wajib ditunaikan oleh siapa saja yang menghadirinya, baik dari keluarga mayit atau bukan, yaitu memandikannya, mengkafaninya, menShalatinya dan menguburkannya.
Hak pertama: Memandikannya
Kewajiban memandikan mayit berdasarkan pada perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan hal tersebut dalam beberapa haditsnya, di antaranya:
1. Sabdanya tentang orang yang meninggal dalam keadaan berihram karena terlempar dari untanya, beliau berkata:
اِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ.
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara...” [1]
2. Juga dalam sabdanya ketika pemandian puteri beliau, yaitu Zainab Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا...
“Mandikanlah ia sebanyak tiga kali atau lima atau tujuh kali...” [2]
Tata Cara Memandikan Jenazah
Dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita pada saat memandikan anak perempuannya (Zainab):
اِبْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَضِعِ الْوُضُوْءِ مِنْهَا.
“Mulailah dari anggota badan sebelah kanan dan bagian badan yang dibasuh saat wudhu.” [3]
Masih dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami di saat kami sedang memandikan puterinya, lalu bersabda:
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَاجْعَلْنَ فِي اْلأَخِرَةِ كاَفُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كاَفُوْرٍ, فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِى. فَلَمَّا فَرَغْنَا أَذَناَّهُ فَأَلْقَى إِلَيْنَا حِقْوَهُ*، فَقَالَ: أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ*.
“Mandikanlah ia dengan air yang dicampur daun bidara sebanyak tiga atau lima kali atau lebih dari itu jika menurut kalian diperlukan, dan jadikanlah akhir pencuciannya dengan air kapur barus atau air yang dicampur sedikit kapur barus. Apabila kalian telah selesai beritahukanlah aku. Manakala kami telah selesai, kami memberitahu beliau, kemudian beliau melemparkan kain kepada kami dan bersabda, ‘Jadikanlah kain ini sebagai pembungkusnya.’” [4]
Dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma juga, dia berkata, “Kemudian kami menganyam (mengepang) rambutnya menjadi tiga bagian, sepertiga di bagian depan kepala dan sepertiga lainnya di dua ba-gian samping kepalanya.” [5]
Masih dari riwayatnya juga, dia berkata, “Lalu kami mengepang rambutnya menjadi tiga kepangan dan kami menaruhnya ke belakang.” [6]
Orang Yang Mengurus Pemandian
Orang yang mengurusi proses pemandian mayit hendaklah orang yang paling mengetahui tentang sunnah-sunnah pemandian mayit, terlebih lagi apabila dia termasuk dari keluarga mayit, karena yang mengurusi pemandian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah keluarga beliau. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku memandikan jenazah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu aku coba memperhatikan jenazahnya, maka aku tidak menemukan padanya hal-hal yang biasa terjadi pada jenazah yang lainnya. Sungguh beliau adalah orang yang sangat baik jasadnya, baik ketika hidup atau wafatnya.”[7]
Dan wajib bagi laki-laki untuk menangani pemandian mayit laki-laki, begitu pula mayit wanita, yang wajib menanganinya adalah kaum wanita. Dan dikecualikan dari hukum ini suami isteri, boleh bagi salah seorang di antara mereka untuk memandikan yang lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia berkata, “Seandainya apa yang telah berlalu bisa diulang kembali, maka aku tidak akan membiarkan jenazah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dimandikan oleh selain isteri-isteri beliau.” [8]
Masih dari riwayat ‘Aisyah Rahiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepadaku seusai mengantar jenazah ke kuburan Baqi’, dan saat itu aku sedang menderita sakit kepala, lalu kukatakan kepadanya sambil mengeluh, ‘Kepalaku pusing sekali.’ Maka beliau bersabda:
بَلْ أَنَا وَارَأْسَاهُ, مَاضَرَّكِ لَوْ مُتِّ قَبْلِي فَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِ.
“Bahkan aku sakit kepala juga. Apa rugimu jika engkau mendahuluiku meninggal dunia, karena nantinya aku yang akan memandikanmu, mengkafanimu, kemudian menshalatimu dan menguburkanmu.” [9]
Perhatian:
Tidak disyari’atkan memandikan orang yang mati syahid di medan perang, berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhua, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِدْفَنُوهُمْ فيِ دِمَائِهِمْ -يَعْنِي يَوْمَ أُحُدٍ- وَلَمْ يَغْسِلْهُمْ.
“Kuburkanlah mereka dengan kondisi berdarah (para syuhada perang Uhud).” Dan mereka pun tidak memandikannya. [10]
Hak Kedua: Mengkafaninya
Dasar hukum wajibnya diambil dari perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits orang muhrim yang wafat karena terlempar dari untanya, beliau berkata:
اِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْنِ.
“Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, kemudian kafanilah ia dengan dua lembar kain….” [11]
Kain kafan atau pun harganya hendaklah diambil dari harta si mayit, walaupun dia tidak meninggalkan harta kecuali harta yang digunakan untuk membeli kain tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Khabbab bin al-Art, ia berkata, “Kami berhijrah (berjihad) bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya mengharap ridha Allah semata, maka Allah akan melimpahkan pahala kepada kami, di antara kami ada yang belum sempat menikmati hasil kemenangan (hasil rampasan perang), seperti Mush’ab bin ‘Umair, dan di antara kami ada yang beruntung menikmati hasil kemenangan tersebut. Mush’ab terbunuh di perang Uhud dan saat itu kami tidak mendapatkan padanya sesuatu pun untuk mengkafaninya kecuali sepotong kain yang jika kami tutup dengannya kepalanya, maka tampaklah kakinya. Dan jika kami tutup kakinya, maka akan tampak kepalanya, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menutup kepalanya dan menutupi kakinya dengan idzkhir (rumput-rumputan yang harum baunya).” [12]
Ukuran yang wajib dari kain kafan adalah kain yang bisa menutupi seluruh jasad mayit, jika tidak ditemukan kecuali kain pendek yang tidak cukup untuk menutupi semua badannya, maka kepalanya ditutup dengan kain tersebut kemudian ditutupi kakinya dengan idzkhir, seperti dalam hadits Khabbab.
Disunnahkan dalam kain kafan beberapa hal:
1. Berwarna putih, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضِ, فَإِنَّهَا خَيْرُ ثِيَابِكُمْ, وَكَفِّنُوْا فِيْهَا.
“Kenakanlah dari pakaian kalian yang berwarna putih karena ia merupakan pakaian yang terbaik, dan kafanilah dengannya.” [13]
2. Hendaklah jumlah kain yang digunakan sebanyak tiga lembar.
Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anuma, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dikafani dengan tiga lembar kain dari Yaman berwarna putih yang dinamakan dengan Suhul (tempat di Yaman) dari kain katun, tidak ada padanya gamis maupun sorban.” [14]
3. Jika memungkinkan hendaklah salah satu dari kain tersebut kain yang bergaris.
Sebagaimana dalam hadits Jabir Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفِّنْ فيِ ثَوْبٍ حِبَرَةٍ.
“Jika salah seorang dari kalian meninggal sedang dia mampu, maka hendaklah dia dikafani dengan kain hibarah•.”
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/135, no. 1265), Shahiih Muslim (II/865, no. 1206) Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud IX/63, no. 3222), Sunan at-Tirmidzi (II/214, no. 958), Sunan an-Nasa-i (V/195).
[2]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/132, no. 1259), Sha-hiih Muslim (II/647, no. 939 (39)).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: Shahih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/130, no. 1255)), Shahiih Muslim (II/648/43-939).
* Al-Hiqwah, yaitu sarung.
* Asy’irnaha iyah, yaitu jadikanlah sarung/kain ini sebagai pembungkusnya.
[4]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/125, no. 1253), Shahiih Muslim (II/464, no. 939), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud (VIII/416, no. 3126)), Sunan at-Tirmidzi (II/229, no. 995), Sunan Ibni Majah (I/468, no. 1458), Sunan an-Nasa-i (V/28).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/125, no. 133, 134, 1262, 1263), Shahiih Muslim (II/646, no. 939), dan Sunan an-Nasa-i (IV/30).
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/125/133, 134, 1262, 1263), Shahiih Muslim (II/646, no. 939), Sunan an-Nasa-i (IV/30).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1198)], [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 50], Sunan Ibni Majah (I/471, no. 1467).
[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1196)], [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 49], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/413, no. 3125), Sunan Ibni Majah (I/470, no. 1464).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1197)], [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 50)], Sunan Ibni Majah (I/470, no. 1465).
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1893)], [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 54-55], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/212, no. 1346), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/412, no. 3122), Sunan an-Nasa-i (IV/62), Sunan at-Tirmidzi (II/250, no. 1041).
[11]. Telah berlalu takhrijnya.
[12]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/142, no. 1276), Shahiih Muslim (II/649, no. 940), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/78, no. 2859), Sunan an-Nasa-i (IV/38), Sunan at-Tirmidzi (V/354, no. 3943).
[13]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3236)], [Ahkaamul Janaa-iz (no. 62)], Sunan at-Tirmidzi (II/232, no. 999), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (X/362, no. 3860).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/135, no. 1264), Shahiih Muslim (II/649, no. 941), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/425, no. 3135), Sunan at-Tirmidzi (II/233, no. 1001), Sunan an-Nasa-i (IV/36), Sunan Ibni Majah (I/472, no. 1469).
• Hibarah (dengan mengkasrahkan huruf ha' dan memfat-hahkan huruf ba'), yaitu kain yang bergaris.
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 455)], [Ahkaamul Janaa-iz (no. 63)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/425, no. 3134