Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Muhammad adalah 'abduhu wa rasuluhu. Pensifatan dari Allah bagi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan sebutan yang paling bagus. 'Abduhu (yang hambaNya) selain menunjukkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hamba yang benar-benar tunduk, juga mengandung makna, beliau adalah manusia biasa seperti kita sebagai makhluk yang tidak boleh disembah. Adapun rasuluhu (utusanNya) menunjukkan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang memiliki keistimewaan, sehingga beliau tidak boleh disepelekan.
Islam mengajarkan bahwa ketaatan yang dilakukan manusia, maka kebaikannya untuk dirinya sendiri. Manusia hanya memiliki apa yang diamalkannya sewaktu di dunia. Allah Ta’ala berfirman :
"Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya)". [Fushilat/41:46].
"Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna". [an Najm/53: 38-41]
Oleh karena itulah barangsiapa yang berbuat kebaikan, walaupun seberat debu, maka dia akan melihat balasannya. Allah Ta’ala berfirman:
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (debu)pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah (debu)pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya". [al Zalzalah/99 : 7-8]
Demikian juga pada hari kiamat, harta benda dan anak-anak tidak akan bermanfaat, kecuali bagi orang yang ketika hidupnya menggunakan hartanya untuk mentaati Allah dan membimbing anak-anaknya berbakti kepada Allah Azza wa Jalla.
"Pada hari (kiamat) harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". [asy Syua'ara/26: 88-89]
Setelah kita mengetahui hakikat ini, bahwa setiap orang akan bertanggung jawab masing-masing di hadapan Allah Ta’ala, maka janganlah seseorang bergantung kepada manusia yang lain. Karena sesungguhnya seluruh manusia itu tidak akan dapat memberikan manfaat dan madhorot, kecuali sekadar apa yang telah Allah tetapkan. Begitu pula dengan para rasul, manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah Yang Maha Kuasa, mereka tidak dapat berbuat apapun terhadap kekuasaan Allah Ta’ala.
Berikut sebagian contoh kejadian para rasul yang membuktikan hal tersebut.
Nabi Nuh Alaihissallam
Beliau tidak dapat menolong anaknya yang diterjang banjir besar di hadapan beliau sendiri. Kemudian beliau mengadu kepada Allah tentang kejadian tersebut, namun ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan oleh keinginan beliau. Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Dan Nuh berseru kepada Rabb-nya sambil berkata: "Ya Rabb-ku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janjiMu itu benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya". Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". Nuh berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi". [Huud/11:45-47]
Nabi Ibrohim Alaihissallam
Permohonan ampun untuk bapaknya ditolak, karena bapaknya mati dalam kekafiran. Allah berfirman:
"Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun". [at Taubat/9:114].
Nabi Luth Alaihissallam
Beliau tidak dapat menolak siksa Allah dari isterinya. Sehingga Allah menjadikan isteri beliau sebagai contoh bagi orang-orang kafir. Allah berfirman:
"Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)". [at Tahriim/66:10].
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Sebagaimana para nabi lainnya, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia biasa. Beliau seorang hamba Allah. Beliau tidak memiliki hak rububiyah (berkuasa terhadap alam semesta) maupun hak uluhiyah (diibadahi, disembah) sedikitpun. Akan tetapi pada zaman ini banyak orang yang melewati batas dalam memperlakukan diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka beranggapan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa memberikan pertolongan jika umat berdoa kepadanya. Anggapan ini merupakan perbuatan yang menyimpang.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah mengumumkan, bahwa beliau sama sekali tidak dapat mendatangkan manfa'at dan tidak pula dapat menolak kemudharatan bagi diri sendiri, kecuali yang dikehendaki Allah. Maka bagaimana bagi orang lain? Allah berfirman:
"Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". [al A'raaf/7:188].
Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengumumkan kepada para kerabatnya, bahwa beliau tidak mampu menolak siksa Allah yang menimpa mereka, maka bagaimana terhadap orang yang jauh dari beliau? Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ }وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِين{َ قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Ketika turun firman Allah {Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat} –QS asy Syua'raa/26 ayat 214- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dan berkata,'Wahai orang-orang Quraisy –atau kalimat semacamnya- belilah diri-diri kamu, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap kamu sedikitpun. Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap kamu sedikitpun. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muththolib, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap-mu sedikitpun. Wahai Shafiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadapmu sedikitpun. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah dari hartaku yang engkau kehendaki, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadapmu sedikitpun'.” [HR Bukhari, no. 2753; Muslim, no. 206; dan lainnya]
Selain penjelasan di atas, kita dapat mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga hilanglah berbagai syubhat (kesamaran) pada orang-orang yang menjadikan beliau sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla. Berikut kami sebutkan di antara peristiwa-peristiwa tersebut.
PELAJARAN DARI KEMATIAN ABU THALIB
Dalam peristiwa kematian pamannya tersebut, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mampu memberikan petunjuk kepada Abu Thalib, walaupun beliau menginginkan hal itu. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:
عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
"Dari Sa’id bin Musayyab, dari bapaknya (Musayyab bin Hazn), dia berkata: Tatkala (tanda) kematian datang kepada Abu Thalib, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya. Beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah berada di dekatnya. Lalu beliau berkata: "Wahai pamanku, katakanlah Laa ilaaha illa Allah, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah!" Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menimpali,"Apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?" Rasulullah n terus-menerus menawarkan itu kepadanya, dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut. Sehingga akhir perkataan yang diucapkan Abi Thalib kepada mereka, bahwa dia berada di atas agama Abdul Muththalib. Dia enggan mengatakan Laa ilaaha illa Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,"Demi Allah, aku akan memohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang darimu," maka Allah menurunkan (ayatNya) “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik” –QS at Taubat/9 ayat 113- Dan Allah menurunkan (ayatNya) tentang Abu Thalib “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya”. –QS al Qashash/28 ayat 56". [Hadits shahih riwayat Bukhari, no. 4772; Muslim, no. 24]
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, waktu itu Abu Thalib menjawab dengan perkataan:
لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ يَقُولُونَ إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لَأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ
"Seandainya suku Quraisy tidak akan mencelaku, yaitu mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya yang mendorongnya (Abu Thalib) mengatakan itu hanyalah kegelisahan (menghadapi kematian),” sungguh aku telah menyenangkanmu dengan kalimat itu". [Hadits shahih riwayat Muslim, no. 25].
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata: “Dan di antara hikmah ar Rabb (Sang Penguasa, Allah) Ta’ala tidak memberi petunjuk kepada Abu Thalib menuju agama Islam, agar Dia menjelaskan kepada hamba-hambaNya bahwa (petunjuk menuju Isalm) itu hanya hak Allah, Dia-lah Yang Berkuasa, siapa saja selainNya tidak berkuasa. Jika Nabi n -yang merupakan makhlukNya yang paling utama- memiliki sesuatu (hak, kekuasaan) memberi hidayah hati, menghilangkan kesusahan-kesusahan, mengampuni dosa-dosa, menyelamatkan dari siksa, dan semacamnya, maka manusia yang paling berhak dan paling utama mendapatkannya adalah pamannya, yang dahulu melindunginya, menolongnya, dan membelanya. Maka Maha Suci (Allah) yang hikmahNya mengagumkan akal-akal (manusia), dan telah membimbing hamba-hambaNya menuju apa yang menunjukkan kepada mereka terhadap ma’rifah (pengenalan) dan tauhid (pengesaan) kepadaNya, dan mengikhlasakan serta memurnikan seluruh amal hanya untukNya”.[1]
PELAJARAN DARI QUNUT NAZILAH
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ الْفَجْرِ يَقُولُ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
"Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ dari raka’at yang akhir dari shalat Subuh, beliau mengucapkan: “Wahai Allah laknatlah Si Fulan, Si Fulan, dan Si Fulan,” setelah beliau mengatakan “Sami’allahu liman hamidah Rabbanaa walakal hamdu," kemudian Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. -QS Ali Imran/3:128." [HR Bukhari, no. 4069]
Dalam riwayat lain disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَسُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَزَلَتْ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan kecelakaan kepada Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan al Harits bin Hisyam, lalu turun (ayat): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. –QS Ali Imran/3:128.” [HR Bukhari, no. 4070].
Syaikh Shalih al Fauzan berkata: “Dalam hadits tersebut terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mampu menolak gangguan musyrikin dari diri beliau dan dari para sahabat beliau, bahkan beliau berlindung kepada Rabb-nya, al Qadir (Yang Maha Kuasa), al Malik (Yang Memiliki). Ini termasuk perkara yang menunjukkan kebatilan terhadap apa yang diyakini oleh penyembah kubur tentang para wali dan orang-orang shalih (yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan, Pen)”.[2]
PELAJARAN DARI PERANG UHUD
Tentang sifat manusia sebagai makhluk yang terdapat pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga ditunjukkan oleh musibah yang dialami dalam kehidupan beliau, seperti di dalam peperangan Uhud. Imam Muslim meriwayatkan:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ
"Dari Anas: "Sesungguhnya pada peperangan Uhud, gigi geraham Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam patah, dan kepala beliau terluka, maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan: 'Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka menuju (peribadahan kepada) Allah?' Maka Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu". -QS Ali Imran/3 ayat 128. [Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1791].
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Terjadinya sakit dan ujian kepada para nabi –semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada mereka- adalah agar mereka mendapatkan pahala yang besar, dan agar umat mereka mengetahui apa yang telah menimpa mereka dan umat itu meneladani mereka”.
Al Qadhi rahimahulllah berkata: “Dan agar diketahui, sesungguhnya mereka (para nabi itu) termasuk manusia, ujian-ujian dunia juga menimpa mereka, dan apa yang mengenai tubuh-tubuh manusia juga mengenai tubuh mereka; agar diyakini, mereka adalah makhluk, yang dikuasai (oleh Allah). Dan agar umat tidak tersesat dengan mu’jizat-mu’jizat yang muncul lewat tangan mereka, dan setan mengaburkan dari perkara para nabi sebagaimana yang telah dia kaburkan terhadap orang-orang Nashrani dan lainnya”. [3]
Dengan keterangan yang ringkas ini, semoga jelas bagi kita tentang kedudukan Nabi yang mulia. Sehingga kita menempatkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana layaknya. Alhamdulillah. Dan setelah mengetahui ini semua, lalu bagaimanakah dengan keadaan orang-orang pada masa sekarang ini, yang memohon dan meminta pertolongan kepada para nabi atau wali atau orang shalih atau kubur mereka? Sungguh tidak tidak diragukan lagi, perbuatan itu hanyalah sia-sia, dan bahkan termasuk perbuatan musyrik.
Semoga Allah selalu menjaga kita dari perbuatan musyrik, dan segala perkara yang mengantarkan kepadanya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fathul Majid, Penerbit Dar Ibni Hazm, hlm. 191-192.
[2]. Al Mulakhas fii Syarh Kitab at Tauhid, hlm. 108.
[3]. Dinukil dari Fathul Majid, Penerbit Dar Ibni Hazm, hlm. 166-167