Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
10. MEMERANGI BANGSA TURK [1]
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ التُّرْكَ، قَوْمًا وُجُوهُهُمْ كَالْمِجَانِّ الْمُطْرَقَةِ، يَلْبَسُونَ الشَّعَرَ وَيَمْشُونَ فِي الشَّعَرِ.
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kaum muslimin memerangi bangsa Turk, yaitu kaum di mana wajah-wajah mereka seperti tameng [2] yang dilapisi kulit [3], mereka memakai (pakaian) yang terbuat dari bulu dan berjalan (dengan sandal) yang terbuat dari bulu.” [4]
Dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تُقَاتِلُوا قَوْمًا نِعَالُهُمُ الشَّعَرُ وَحَتَّى تُقَاتِلُوا التُّرْكَ صِغَارَ اْلأَعْيُنِ حُمْرَ الْوُجُوهِ ذُلْفَ اْلأُنُوفِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمِجَـانُّ الْمُطْرَقَةُ.
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kalian memerangi satu kaum yang sandal-sandal mereka terbuat dari bulu, dan kalian memerangi bangsa Turk yang bermata sipit, wajahnya merah, hidungnya pesek [5], wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.” [6]
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Taghlib, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُقَاتِلُوا قَوْمًا عِرَاضَ الْوُجُـوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ.
‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah kalian memerangi suatu kaum yang berwajah lebar, wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.’” [7]
Kaum muslimin telah memerangi orang-orang Turk pada masa Sahabat Radhiyallahu anhum. Hal itu terjadi di awal masa khilafah Bani Umayyah, pada zaman Mu-’awiyah Radhiyallahu anhu.
Abu Ya’la meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Khudaij, dia berkata, “Saat itu aku bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan ketika datang kepadanya surat dari petugasnya di suatu daerah, dia mengabarkan bahwa telah terjadi peperangan dengan bangsa Turk dan kaum muslimin telah mengalahkannya. Banyak korban dari mereka, demikian pula banyak harta rampasan perang yang didapatkan dari mereka. Lalu Mu’awiyah marah karena hal itu, kemudian memerintahkan untuk menulis surat (yang isinya), “Aku telah memahami apa yang engkau katakan, korban yang telah engkau bunuh dan harta rampasan perang yang engkau dapatkan, maka aku tidak akan pernah ingin tahu terhadap apa yang engkau telah persiapkan, dan jangan engkau perangi mereka sampai datang perintahku kepadamu.” Aku (Mu’awiyah bin Khudaij) bertanya, “Kenapa wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَتَظْهَرَنَّ التُّرْكُ عَلَى الْعَرَبِ حَتَّـى تُلْحِقَهَا بِمَنَابِتِ الشِّيْحِ وَالْقَيْصُوْمِ، فَأَنَا أَكْرَهُ قِتَالَهُمْ لِذَلِكَ.
‘Sungguh bangsa Turk akan mengalahkan orang Arab hingga mengejarnya di asy-Syiih [8] dan al-Qaishuum [9], ’ dan aku tidak suka untuk memerangi mereka karena hal itu.” [10]
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah dari bapaknya Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian kami mendengar beliau bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي يَسُوقُهَا قَوْمٌ عِرَاضُ اْلأَوْجُهِ، صِغَارُ اْلأَعْيُنِ، كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْحَجَفُ (ثَلاَثَ مِرَارٍ) حَتَّـى يُلْحِقُوهُمْ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ، أَمَّا السَّابِقَةُ اْلأُولَى فَيَنْجُو مَنْ هَرَبَ مِنْهُمْ، وَأَمَّا الثَّانِيَةُ فَيَهْلِكُ بَعْضٌ وَيَنْجُو بَعْضٌ، وَأَمَّا الثَّالِثَةُ فَيَصْطَلِمُوْنَ كُلُّهُمْ مَنْ بَقِيَ مِنْهُـمْ، قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللهِ! مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمُ التُّرْكُ، قَالَ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِـي بِيَدِهِ لَيَرْبِطُنَّ خُيُولَهُمْ إِلَى سَوَارِي مَسَاجِدِ الْمُسْلِمِينَ.
‘Sesungguhnya umatku akan digiring oleh satu kaum yang berwajah lebar, bermata sipit, wajah-wajah mereka seperti tameng (hal itu terjadi tiga kali), hingga mereka dapat mengejarnya di Jazirah Arab. Adapun pada kali yang pertama, selamatlah orang yang lari darinya. Pada kali kedua, sebagiannya binasa dan sebagian lainnya selamat, sementara pada kali yang ketiga, mereka semua membunuh yang tersisa.’ Para Sahabat bertanya, ‘Wahai Nabiyullah! Siapakah mereka?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah bangsa Turk.’ Beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, niscaya kuda-kuda mereka akan ditambatkan di tiang-tiang masjid kaum muslimin.’”
Dia (‘Abdullah) berkata, “Setelah itu Buraidah tidak pernah berpisah dengan dua atau tiga unta, bekal perjalanan, dan air minum untuk kabur sewaktu-waktu, karena beliau mendengar sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang musibah yang ditimpakan oleh para pemimpin Turk.” [11]
Telah masyhur pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum sebuah hadits yang berbunyi:
اُتْرُكُوا التُّرْكَ مَا تَرَكُوكُمْ.
“Biarkanlah bangsa Turk selama mereka membiarkan kalian.” [12]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebelumnya ada penghalang antara mereka dengan kaum muslimin hingga penghalang tersebut terbuka sedikit demi sedikit. Tawanan dari kalangan mereka sangat banyak sehingga para penguasa saling berlomba mendapatkannya karena mereka memiliki sifat kuat dan pemberani sehingga sebagian besar tentara al-Mu’tashim adalah dari kalangan mereka. Lalu bangsa Turk menguasai raja al-Mu’tashim dan mereka membunuh puteranya, al-Mutawakkil, kemudian anak-anaknya yang lain satu persatu, sehingga kerajaan Islam bercambur baur dengan kerajaan ad-Dailam. Para penguasa as-Samaniyyah pun dari bangsa Turk, hingga mereka dapat menguasai negeri-negeri selain Arab. Kemudian kerajaan-kerajaan tersebut dikuasai oleh Dinasti Sabaktikin, lalu oleh Dinasti Saljuk, dan kekuasaan meluas mereka sampai Irak, Syam, dan Romawi. Selanjutnya dikuasai oleh sisa-sisa pengikut mereka di Syam -yaitu Dinasti Zanki- dan pengikut mereka -yaitu Baitu Ayyub-, mereka pun banyak dari bangsa Turk, mereka bisa mengalahkan kerajaan di Mesir, Syam dan Hijaz.”
Selanjutnya al-Ghazz memberontak kepada dinasti Saljuk pada abad ke-5 H. Mereka menghancurkan berbagai negeri dan banyak membunuh manusia.
Kemudian tibalah bencana besar dengan kedatangan bangsa Tatar. Keluarnya Jengis Khan terjadi setelah abad ke-6. Dunia dibumihanguskan olehnya, terutama daerah timur dan sekitarnya sehingga tidak tersisa satu negeri pun kecuali mendapatkan bagian kejelekan dari mereka. Dan konon hancurnya Baghdad dan terbunuhnya Khalifah al-Musta’shim, khalifah mereka yang terakhir di tangan-tangan bangsa Tatar pada tahun 650 H. Kemudian, sisa-sisa mereka senantiasa melakukan kerusakan sampai pada akhirnya datang Ling yang maknanya si pincang. Namanya adalah Tamur, datang ke Syam dan hidup di sana. Dia membakar Damaskus sampai ke atap-atapnya, masuk ke Romawi, India dan daerah yang ada di antara keduanya. Umurnya panjang hingga Allah mematikannya, dan berpencaranlah anak-anaknya di berbagai negeri.
Tampaknya semua yang kami sebutkan sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّ بَنِي قُنْطُوْرَاءَ أَوَّلُ مَنْ سَلَبَ أُمَّتِيْ مُلْكَهُمْ.
“Sesungguhnya Bani Qunthura' adalah yang pertama kali merampas kerajaan umatku.”
Seakan-akan maksud dari sabdanya “Umatku” adalah umat secara nasab, bukan umat dakwah, yaitu bangsa Arab. Wallaahu a’lam.[13]
Dengan penjelasan di atas, maka sesungguhnya bangsa Tatar yang muncul pada abad ke-7 Hijriyyah adalah bangsa Turk, karena sifat-sifat yang disifatkan untuk bangsa Turk sesuai dengan bangsa Tatar (Mongolia). Kemunculan mereka terjadi pada masa Imam an-Nawawi rahimahullah [14], beliau berkata tentang mereka, “Peperangan dengan bangsa Turk didapati dengan segala sifat mereka yang diungkapkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : Mata mereka kecil (sipit), muka mereka merah, hidung mereka kecil (pesek), muka mereka seperti tameng yang dilapisi kulit, memakai terompah dari bulu, mereka didapati dengan sifat-sifat tersebut pada masa kami, kaum muslimin telah memerangi mereka beberapa kali dan sekarang pun mereka memeranginya.” [15]
Telah banyak bangsa Turk yang masuk Islam, bahkan banyak kebaikan juga manfaat yang mereka berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Mereka menjadikan negeri Islam sebagai negeri yang kuat dan dengannya Islam menjadi jaya. Banyak terjadi penaklukan yang sangat besar pada masa mereka, di antaranya penaklukan Konstantinopel, ibu kota Romawi. Hal itu merupakan pijakan awal bagi penaklukan besar di akhir zaman sebelum kemunculan Dajjal, sebagaimana akan dijelaskan nanti, dan masuknya Islam ke Eropa serta berbagai negeri lainnya di timur maupun di barat.
Sikap mereka terhadap Islam membenarkan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan peperangan dengan bangsa Turk, beliau bersabda:
وَتَجِدُونَ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ أَشَدَّهُمْ كَرَاهِيَةً لِهَذَا اْلأَمْرِ، حَتَّـى يَقَعَ فِيهِ وَالنَّاسُ مَعَادِنُ، خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ.
“Dan kalian akan mendapati manusia yang paling baik adalah yang (sebelumnya) paling benci terhadap perkara ini (Islam) hingga ia masuk ke dalamnya dan manusia ibarat barang tambang (beragam), orang terbaik dari mereka pada masa Jahiliyyah adalah orang terbaik dari mereka pada masa Islam.” [16]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Tentang asal-usul bangsa Turk ada beberapa pendapat para ulama, di antaranya:
a. Mereka adalah keturunan dari Yafits bin Nuh, dari keturunan inilah Ya'juz dan Ma'juz berasal, mereka adalah anak-anak paman mereka.
b. Mereka berasal dari anak-anak Qanthura’, nama seorang budak wanita milik Ibrahim al-Khalil Shalawaatullaah wa Salaamuhu ‘alaihi, dan darinya lahir anak-anak yang merupakan nenek moyang bagi bangsa Cina dan Turk.
c. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka dari keturunan Tubba’.
d. Dan ada yang mengatakan mereka berasal dari keturunan Afridun bin Sam bin Nuh.
Dikatakan negeri mereka adalah Turkistan, yaitu daerah antara Khurasan sampai ke Cina bagian barat dan dari bagian utara India sampai ujung al-Ma’mur.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (IV/113), Tartiibul Qamuusil Muhiith (III/700), Ma’aalimus Sunan (VI/68), Mu’jamul Buldaan (II/23), an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/153) tahqiq Dr. Thaha Zaini, Fat-hul Baari (VI/104 dan 608), al-Isyaa’ah (hal. 35), dan al-Idzaa’ah (hal. 82).
[2] الْمِجَانُّ bentuk jamak dari kata (مِجَنٌّ), maknanya adalah tameng, huruf mimnya hanyalah sebagai tambahan, karena asalnya dari kata (الْجُنَّةُ) yang berarti penutup.
Lihat an-Nihaayah fi Ghariibil Hadiits (IV/301).
[3] اَلْمِجَانُّ الْمُطْرَقَةُ yaitu yang ditutupi dengan kulit, hal ini seperti ungkapan (طَارِقُ النَّعْلِ) artinya adalah sandal yang dijadikan berlapis-lapis. (Di dalam hadits ini) wajah mereka diibaratkan dengan tameng yang dipakaikan padanya kulit karena lebar dan menonjolnya pipi bagian atas.
Lihat an-Nihaayah fهi Ghariibil Hadiits (III/122), Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVIII/36-37).
[4]. Shahiih Muslim, al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/37, Syarh an-Nawawi).
[5]. (ذُلْفُ اْلأُنُوفِ) اَلذَّلَفُ dengan huruf yang berharakat, maknanya adalah hidung pendek lagi melebar, ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah panjang ujungnya dan kecil, adapun الذُّلْفُ dengan huruf lam yang disukunkan adalah bentuk jamak dari kata أَذْلَفُ, seperti kata أَحْمَرُ dan حُمْرٌ.
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Manaaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah fil Islaam (VI/604, al-Fat-h).
[7]. Musnad Ahmad (V/70, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzi), dengan lafazh beliau, dan Shahiih al-Bukhari, kitab al-Jihaad, bab Qitaalit Turk (VI/ 104, dalam al-Fat-h).
[8]. (الشِّيْحُ) dengan dikasrahkan, kemudian sukun dan huruf ha: tumbuhan dengan bau wangi, di mana orang-orang Tharqiah menamainya dengan wakhsyrik, (ذُاتُ الشِّيْحِ), nama sebuah perkampungan Bani Yarbu’, dan (ذُو الشِّيْحِ) sebuah tempat di Yamamah, dan sebuah tempat di Jazirah. Lihat Mu’jamul Buldaan (III/379).
[9]. (اَلْقَيْصُومُ) tumbuhan dengan bau wangi yang ada di daerah pedalaman, bentuk tunggalnya adalah (قَيْصُومَةٌ), ia adalah sumber air yang berhadapan dengan asy-Syaihah di antara keduanya ada tanjakan di sebelah timur dari Fiid yaitu (negeri di pertengahan jalan antara Makkah dan Kufah yang di-lewati oleh orang yang melaksanakan haji, ia dekat dengan Aja, Salma, Jablam dan Thayy).
Lihat Mu’jamul Buldaan (IV/282, 422).
[10]. Fat-hul Baari (VI/609).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan di dalamnya ada seseorang yang tidak aku kenal,” (Majma’uz Zawaa-id VII/312).
[11]. Musnad Ahmad (V/348-349 -dengan catatan pinggir al-Muntakhab).
Abul Khaththab ‘Umar bin Dihyah berkata, “Ini adalah sanad yang shahih.” At-Tadzkirah, karya al-Qurthubi (hal. 593).
Al-Haitsami berkata, “Abu Dawud meriwayatkannya secara ringkas, diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazzar secara ringkas, perawinya adalah perawi shahih. Majma’uz Zawaa-id (VII/311).
Akan tetapi riwayat Abu Dawud berbeda dengan riwayat Imam Ahmad, karena zhahir riwayat Abu Dawud menunjukkan sesungguhnya kaum musliminlah yang menggiring orang-orang Turk sebanyak tiga kali hingga menempatkan mereka di Jazirah Arab, dan di dalam riwayat itu dikatakan:
يُقُاتِلُكُمْ قَوْمٌ صِغَارُ اْلأَعْيُنِ.
“Kaum bermata kecil memerangi kalian.”
Maksudnya adalah orang-orang Turk.
Kelanjutan hadits:
تَسُوْقُوْنَهُمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ حَتَّى تُلْحِقُوْهُمْ بِجَزِيِرَةِ الْعَرَبِ... الحديث
“Kalian menggiringnya sebanyak tiga kali sehingga menempatkan mereka di Jazirah Arab...”
Sunan Abi Dawud, kitab al-Malaahim, bab Qitaalit Turk (XI/412-413, ‘Aunul Ma’buud).
Penulis kitab ‘Aunul Ma’buud berkata, “Menurut saya yang benar adalah riwayat Ahmad, adapun riwayat Abu Dawud, maka yang jelas telah terjadi kerancuan pada sebagian perawinya.”
Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Ahmad bahwasanya Buraidah tidak pernah meninggalkan dua atau tiga unta, bekal perjalanan, dan air minum setelah itu agar bisa kabur. Hal ini karena dia mendengar dari Nabi J tentang bencana yang ditimpakan oleh pemimpin-pemimpin Turk.
Diperkuat pula oleh kenyataan terjadinya keraguan pada sebagian perawi Abu Dawud, karena itulah dikatakan di akhir hadits, “أَوْ كَمَا قَالَ (Atau seperti yang disabdakan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam).”
Demikian pula diperkuat oleh terjadinya berbagai peristiwa serupa sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. (‘Aunul Ma’buud XI/414).
Kemudian dinukil dari al-Qurthubi kisah tentang keluarnya bangsa Turk, mereka keluar sebanyak tiga kali untuk menyerang kaum muslimin, yang terakhir adalah penghancuran yang mereka lakukan terhadap kota Baghdad, juga pembunuhan yang mereka lakukan terhadap Khalifah, para ulama, para Gubernur, tokoh dan ahli ibadah. Mereka masuk ke berbagai negeri hingga menguasai Syam dalam waktu yang singkat. Ketakutan yang mereka timbulkan masuk ke Mesir sehingga raja al-Muzhaffar yang diberi julukan Quthuz melawan mereka dalam sebuah pertempuran yang terkenal, yaitu ‘Ainu Jaaluut. Beliau mendapat kemenangan sebagaimana didapatkan oleh Thalut (mengalahkan Jalut pada zaman Nabi Dawud q), hancurlah persatuan musuh-musuhnya dan Allah menjaga kaum muslimin dari kejelekan mereka.
Lihat at-Tadzkirah, karya al-Qurthubi (hal. 592-595), ‘Aunul Ma’buud (XI/ 415-416).
[12]. Sunan Abi Dawud, kitab al-Malaahim, bab an-Nahyu ‘an Tahyiijit Turk wal Habasyah (XI/409, ‘Aunul Ma’buud).
Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari hadits Mu’awiyah.” Fat-hul Baari (VI/ 609).
Al-‘Ajaluni berkata, “Az-Zarqani berkata, ‘Hasan.’” Dan beliau berkata di dalam al-Ashl, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari seseorang, dari kalangan Sahabat, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam... diriwayatkan oleh an-Nasa-i… demikian pula ath-Thabrani dalam al-Kabiir juga al-Ausath dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dengan lafazh:
اُتْرُكُوا التُّرْكَ مَا تَرَكُوكُمْ.
“Biarkanlah bangsa Turk selama mereka membiarkan kalian.”
Beliau bersabda:
أَوَّلُ مَنْ يَسْلُبُ أُمَّتِيْ مُلْكَهُمْ وَمَا خَوَّلَهُمُ اللهُ بَنُوْ قُنْطُوْرَاءَ.
“Yang pertama kali merampas kerajaan umatku dan apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka adalah Banu Qunthura'.”
Dan diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan secara marfu’ dengan jalan-jalan yang satu sama lain saling menguatkan.” Lihat Kasyful Khafaa wa Muziilul Ilbaas ‘Ammasy Tahara minal Ahaadiits ‘ala Alsunin Naas (I/38), karya al-‘Ajaluni, ta’liq Ahmad al-Qalasy, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut.
Syaikh al-Albani t berkata tentang hadits ini, "Hadits ini maudhu'." Lihat Dha’iif al-Jaami’ish Shaaghiir (I/81, no. 105).
As-Sakhawi berkata setelah menyebutkan orang-orang yang meriwayatkannya, “Dan tidak di-benarkan menghukuminya sebagai maudhu, al-Hafizh Dhiya-uddin al-Maqdisi telah mengumpulkan satu juz secara khusus tentang keluarnya bangsa Turk sebagaimana kita dengar.” Al-Maqaashidul Hasanah fi Bayaani Katsiirin minal Ahaadiitsil Musytaharah ‘alal Alsinah (hal. 16-17) yang dishahihkan dan dita’liq catatan kakinya oleh ‘Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, diberikan kata pengantar oleh ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif, cet. Darul Adab al-‘Arabi, dan disebarluaskan oleh Maktabah al-Khaniji - Mesir, tahun 1375 H.
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir dan al-Ausath, di dalamnya ada perawi bernama ‘Utsman bin Yahya al-Qarqasani, dan saya tidak mengenalnya, sementara perawi-perawinya yang lain adalah perawi ash-Shahiih.” Majma’uz Zawaa-id (VII/312).
Walhasil hadits ini minimal hasan, terlebih lagi Ibnu Hajar menuturkan bahwa hadits ini masyhur pada masa Sahabat g, dan beliau tidak menyebutkan cacat di dalamnya. Maka hal ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tsabit menurut beliau, dan saya telah mendapati bahwa Syaikh al-Albani telah membawakan syahid dengan hadits:
دَعُوا الْحَبَشَةَ مَا وَدَعُوكُمْ وَاتْرُكُوا التُّرْكَ مَا تَرَكُوكُمْ.
“Biarkanlah orang-orang Habasyah selama mereka membiarkan kalian dan biar-kanlah bangsa Turk selama mereka membiarkan kalian.”
Dan beliau berkata tentang sanadnya, “Ini adalah sanad la ba’-sa bihi di dalam syawahid (penguat), semua perawinya tsiqah selain Abu Sakinah,” al-Hafizh berkata dalam at-Taqriib, “Dikatakan bahwa namanya adalah Muhlim dan diperdebatkan apakah dia seorang Sahabat?” Menurutku (al-Albani), “Jika ia bukan seorang Sahabat, maka ia adalah seorang Tabi’in Mastuur, ada tiga orang yang me-riwayatkan darinya, maka hadits ini adalah syahid (penguat) yang hasan.” Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (II/416, no. 772).
Barangkali yang dimaksud dengan perkataan al-Albani, “Maudhu’” adalah tambahan yang ada di akhir hadits, yaitu ungkapan:
أَوَّلُ مَنْ يَسْلُبُ أُمَّتِيْ مُلْكَهُمْ وَمَا خَوَّلَهُمُ اللهُ بَنُوْ قُنْطُوْرَاءَ.
“Yang pertama kali merampas kerajaan umatku dan apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka adalah Banu Qunthura'.”
Dan akan dijelaskan nanti bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar menjadikannya sebagai dalil, maka hadits tersebut tsabit menurut beliau, wallaahu a’lam.
[13]. Fat-hul Baari (VI/609-610).
[14]. Imam an-Nawawi lahir pada tahun 631 H, wafat pada tahun 676 H, saat itu adalah masa di mana Tatar datang, dan mereka menghancurkan Khilafah ‘Abbasiyyah. Lihat Tadzkiratul Huffaazh (IV/ 1471-1473).
[15]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVIII/37-38).
[16]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Manaaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah fil Islaam (VI/604, al-Fat-h).