Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir.[1]
Para ulama ummat ini pada setiap generasi, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yakin maupun yang berpendapat bahwa hadits ahad menunjukkan zhann, mereka berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih di antara mereka melainkan kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti Mu’tazilah dan Rafidhah.[2]
Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi rahimahullah (wafat th. 1393 H) mengatakan: “Ketahuilah, bahwa penelitian yang kita tidak boleh menyimpang dari hasilnya bahwa hadits ahad yang shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu’. Maka, apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih mengenai Sifat-Sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-Mahasempurnaan dan ke-Maha-agungan-Nya sebagaimana firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Mahamelihat.” [Asy-Syuura: 11]
Dengan demikian, Anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya bahwa hadits-hadits ahad itu tidak bisa diterima untuk dijadikan dalil dalam masalah-masalah ‘aqidah seperti tentang Sifat-Sifat Allah, karena hadits-hadits ahad itu tidak menunjukkan kepada hal yang yakin melainkan kepada zhann (dugaan) sementara masalah ‘aqidah itu harus mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti dari kebathilannya bahwa pendapat ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hukum akal semata.” [3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pemakai bahasa Arab terbaik dan terfasih, beliau telah dikaruniai jawaami’ul kalim (kemampuan mengungkap kalimat ringkas dengan makna yang padat, kalimat sarat makna) dan ditugaskan untuk menyampaikannya. Dengan begitu, tidaklah dapat dibayangkan -baik secara syar’i maupun ‘aqli- bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membiarkan masalah ‘aqidah menjadi samar dan penuh syubhat, sebab ‘aqidah merupakan bagian ter-penting dari seluruh rangkaian ajaran agama. Sehingga bila beliau menjelaskan masalah furu’ secara detail, mustahil beliau j tidak melakukan hal yang sama pada masalah ushul (pokok).[4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan masalah ushul (‘aqidah) dengan detail (rinci) dengan sejelas-jelasnya. Karena itu seorang Muslim wajib menerima apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun derajat haditsnya adalah ahad, tidak mencapai mutawatir. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.” [5]
PENJELASAN KAIDAH KELIMA : Berserah Diri (Taslim), Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara lLahir Dan Bathin. Tidak Menolak Sesuatu Dari Al-Qur-an Dan As-Sunnah Yang Shahih, (Baik Menolaknya Itu) Dengan Qiyas (Analogi), Perasaan, Kasyf (Iluminasi Atau Penyingkapan Tabir Rahasia Sesuatu Yang Ghaib), Ucapan Seorang Syaikh, Ataupun Pendapat Imam-Imam Dan Yang Lainnya.”
Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata:
مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ، وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ.
“Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [6]
Kewajiban seorang Muslim adalah tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk kepada perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau j dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan bathil, hal-hal yang syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang pun dari manusia.
Penyerahan diri, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kewajiban seorang Muslim. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti taat kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” [An-Nisaa': 80]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak ber-iman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa': 65]
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka adalah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [An-Nuur: 51]
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah sesat, denga kesesatan yang nyata.” [Al-Ahzaab: 36]
Seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala bila ia mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apapun yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.
Sesungguhnya seorang Muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyerahkan apa yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut artinya, berserah diri kepada nash-nash Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keragu-raguan dan pendapat orang.
Ada sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat Al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan debu seraya bersabda:
مَهْلاً يَا قَوْمِ، بِهَذَا أُهْلِكَتِ اْلأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ، بِاِخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ، إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضاً، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضاً فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ، فَاعْمَلُوْا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوْهُ إِلَى عَالِمِهِ.
“Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara bertengkar seperti ini telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta berpendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan dengan sebagian yang lain. Ingat! Sesungguhnya Al-Qur-an tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat Al-Qur-an sebagian membenarkan sebagian yang lainnya. Karena itu apa yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan apa yang kalian tidak ketahui serahkanlah kepada yang paling mengetahui.”[7]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
اَلْمِرَاءُ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ.
“Bertengkar dalam masalah Al-Qur-an adalah kufur.”[8]
Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari kemurnian tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan dan ke-imanan yang benar.”[9]
Penjelasan ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu.
Orang yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mem-punyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertang-gungjawabannya.” [Al-Israa': 36]
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“ ...Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim.” [Al-Qashash: 50]
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ كُتِبَ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَنْ تَوَلَّاهُ فَأَنَّهُ يُضِلُّهُ وَيَهْدِيهِ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
“Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaithan itu bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu ia akan menyesatkannya, dan mem-bawanya ke dalam adzab Neraka.” [Al-Hajj: 3-4]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan per-buatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ke-tahui.’” [Al-A’raaf: 33]
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang anak-anak kaum musy-rikin yang meninggal dunia, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.
“Allah-lah Yang Mahatahu apa yang telah mereka kerjakan.” [10]
Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ.
“Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah mendapat hidayah kecuali apabila di kalangan mereka diberi kebiasaan berdebat.”
Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman Allah Azza wa Jalla:
مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar...” [Az-Zukhruf: 58] [11]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,[12] ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ.
‘Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras membantah.’”[13]
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka telah berkurang tauhidnya. Orang yang berkata dengan ra’yunya (logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang mempunyai ra’yu dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, maka berkuranglah tauhidnya menurut kadar jauhnya ia dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya ia telah menjadikan sesembahan selain Allah Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat ber-dasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pe-lajaran?” [Al-Jaatsiyah: 23][14]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat an-Nukat ‘alaa Nuz-hatin Nazhar Syarah Nukhbatil Fikr (hal. 70-71) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Atsari.
[2]. Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/112) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqiil.
[3]. Mudzakkirah fii Ushuulil Fiqh (hal 124), cet. III/Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, th. 1425 H.
[4]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal 28) oleh Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, cet. II/ Darus Sunnah, th. 1414 H.
[5]. Al-Ibaanah libni Baththah (I/260 no. 97).
[6]. HR. Al-Bukhari di dalam Kitaabut Tauhiid. Lihat Fat-hul Baari (XIII/503).
[7]. HR. Ahmad (II/181, 185, 195, 196), ‘Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (no. 20367), Ibnu Majah (no. 85), al-Bukhari fii Af’aalil ‘Ibaad (hal. 43), al-Baghawi (no. 121) sanadnya hasan, dari Sahabat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imaam Ahmad (no. 6668, 6702).
[8]. HR. Ahmad (II/286, 300, 424, 475, 503 dan 528), Abu Dawud (no. 4603), dengan sanad yang hasan. Dishahihkan oleh al-Hakim (II/223) dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat juga Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi (I/261).
[9]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah, takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki (hal. 233).
[11]. HR. Al-Bukhari dalam Shahiihnya (no. 1384) dan Muslim dalam Shahiihnya (no. 2659), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 3253), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir dan al-Hakim (II/447-448), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Menurut Syaikh al-Albani ha-dits ini hasan sebagaimana perkataan Imam at-Tirmidzi, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib (no. 141).
[11]. Beliau adalah Ummul Mukminin. Nama lengkapnya ‘Aisyah bintu Abi Bakar ash-Shiddiq, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dinikahi di Makkah pada waktu berusia enam tahun. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hidup bersamanya di Madinah ketika dia berusia sembilan tahun pada tahun kedua Hijriyah dan tidak menikah dengan perawan selainnya. Dia Radhiyallahu anhuma adalah isteri yang paling dicintainya di antara isteri-isteri lainnya. Dia banyak menghafal hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan wanita yang paling cerdas dan paling ‘alim.
[12]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat saat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berusia 18 tahun. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma wafat pada tahun 58 H dalam usia 67 tahun. Dimakamkan di Baqi’, Madinah an-Nabawiyyah.
Lihat al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (IV/ 359, no. 704), cet. Daarul Fikr.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 2457 dan 4523), al-Fat-h (VIII/188), Muslim (no. 2668), at-Tirmidzi (no. 2976), an-Nasa-i (VIII/248) dan Ahmad (VI/55, 62, 205).
[14]. Lihat penjelasannya di dalam kitab Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki (hal. 228-235).