Oleh Ustadz Rizal Yuliar Lc
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan jin dan manusia dan mengujinya dengan berbagai kenikmatan-Nya yang agung dan anugerah-Nya yang megah. Sebagian manusia ada yang baik dan bersemangat dalam memanfaatkannya, dan sebagian lagi ada yang lalai terhadap apa yang telah menjadi kewajibannya.
Di antara ujian yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, yaitu agar mereka berittiba` (mengikuti) Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para nabi berada di atas agama yang sama, yakni bertauhid; dengan beribadah semata-mata hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala meskipun dengan syariat yang mungkin berbeda. Sehingga, mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bagian dari mengikuti jejak para nabi dan sekaligus dibarengi dengan kecintaan terhadap mereka. Apabila seorang hamba meyakini bahwa seluruh nabi adalah sebaik-baik manusia ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka adalah hamba-hamba yang berhak mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka ia juga akan menyakini pentingnya arti meneladani para nabi. Terlebih hal itu telah dipertegas oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَالَمِينَ
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur`ân)." Sesungguhnya Al-Qur`ân itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh umat". [al-An'âm/6 : 90].
Melalui firman-Nya, Al-Qur`ân, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kisah para nabi dalam banyak ayat. Yang terbaik di antara mereka mendapat sebutan sebagai ulul-‘azmi di kalangan para rasul, dan sebaik-baik mereka adalah al-khalilân (dua kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kisah-kisah tersebut bukan sesuatu yang sia-sia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman. [Yûsuf/12 ayat 111].
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya: Dan semua kisah dari rasul-rasul yang Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. [Hûd/11 ayat 120]
Demikian juga dengan kisah Nabi Ibrâhîm Alaihissallam. Namun, sebelum kita mengkaji sebagian kisah perjalanan hidup Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, ada beberapa hal mendasar yang perlu kita perhatikan dengan seksama.[1]
Pertama :Manhaj nabawi yang diwariskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tazkiyatun-nufûs (pensucian jiwa) adalah manhaj seluruh nabi. Bahkan itu merupakan salah satu rukun kenabian dan merupakan tugas utama yang dipikul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini pula yang telah menjadi rukun utama dakwah Nabi Ibrahim Alaihissallamsebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Lihat surat al-Baqarah/2 ayat 127-129.
Kedua : Tazkiyatun-nufûs merupakan prinsip dasar dalam mewujudkan kehidupan secara Islami berlandaskan manhaj Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menggapai kebahagiaan hakiki.
Ketiga : Metode pendidikan modern yang dianggap mampu memberikan jalan keluar bagi banyak problematika ternyata menjadi senjata tajam yang justru dapat membahayakan umat Islam dalam semua sisi kehidupan mereka, lantaran metode tersebut kerap kali berseberangan dengan manhaj yang diterapkan oleh para nabi atas umat mereka dengan bimbingan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Keempat : Memahami dengan baik manhaj para nabi dalam tazkiyatun-nufûs dapat memberikan gambaran tentang kelurusan aqidah, kesabaran ibadah, kemuliaan akhlak, keindahan mu'amalah, keteguhan prinsip, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, insya Allah Subhanahu wa Ta’ala , pembahasan kali ini terdapat beberapa pelajaran tarbiyah dan nilai tazkiyatun-nufûs yang dipetik dari kisah perjalanan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam .
BEBERAPA PELAJARAN PENTING DARI PEMAPARAN KISAH NABI IBRÂHÎM ALAIHISSALLAM
Keteguhan Ibrâhîm Alaihissallam Dalam Mendakwahkan Tauhid Kepada Ayahnya.
Unsur terpenting dalam proses penyucian jiwa ialah dengan menegakkan tauhidullah, menjadikannya sebagai pilar utama sehingga mempengaruhi unsur-unsur lain dalam jiwa. Apabila tauhid seseorang baik, maka baik pula unsur lainnya. Demikian sebaliknya, apabila tauhid seseorang buruk, hal itupun akan sangat berpengaruh dalam setiap gerak langkah kehidupannya. Dan kita berharap semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberikan taufik dan petunjuk-Nya.
Dalam mempelajari perjalanan hidup Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, kita akan mendapatkan diri beliau sebagai insan yang sangat teguh dan gigih dalam menegakkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung, yakni tauhid. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa moment, di antaranya:
a. Dakwah Tuhid Kepada Ayah Beliau Alaihissallan Dengan Sabar Dan Penuh Santun.
Al-Hâfihz Ibnu Katsiir rahimahullah berkata,"Penduduk negeri harran adalah kaum musyrikin penyembah bintang dan berhala. Seluruh penduduk bumi adalah orang-orang kafir kecuali Ibrâhîm Alaihissallam , isterinya, dan kemenakannya, yaitu Nabi Luth Alaihissallam . Ibrâhîm Alaihissallam terpilih menjadi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghapus kesyirikan tersebut dan menghilangkan kebatilan-kabatilan yang sesat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganugerahkan kepadanya kegigihan sejak masa kecilnya. Beliau diangkat menjadi Rasul, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya sebagai kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala pada masa berikutnya.[2]
Awal dakwah tauhid yang beliau Alaihissallam tegakkan, ialah diarahkan kepada ayahnya, karena ia seorang penyembah berhala dan yang paling berhak untuk diberi nasihat".[3]
Syaikh as-Sa`di rahimhahullah berkata,"Ibrâhîm Alaihissallam adalah sebaik-baik para nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , … yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan kenabian pada anak keturunnya. Dan kepada mereka diturunkan kitab-kitab suci. Dia telah mengajak manusia menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala , bersabar terhadap siksa yang ia dapatkan (dalam perjalanan dakwahnya), ia mengajak orang-orang yang dekat (dengannya) dan orang-orang yang jauh, ia bersungguh-sungguh dalam berdakwah terhadap ayahnya bagaimanapun caranya…”.[4]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya; "Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”. [Maryam/19:42].
Lihatlah, bagaimana Nabi Ibrâhîm Alaihissallam mendakwahkan tauhid kepada ayahnya dengan ungkapan sangat lembut dan ucapan yang baik untuk menjelaskan kebatilan dalam perbuatan syirik yang dilakukannya?![5] Penolakan ayahnya terhadap dakwah itu tidak menyurutkan semangat serta sikap sayang terhadap ayahnya dengan tetap akan memintakan ampunan, sekalipun permohonan ampun itu tidak dibenarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Disebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
Dan permintaan ampun dari Ibrâhîm (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrâhîm bahwa ayahnya adalah musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka Ibrâhîm berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. [at-Taubah/9 : 114].
Dalam usaha yang lain, Ibrâhîm berdialog dengan ayahnya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً ۖ إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya, Âzar:[6] "Layakkah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kekeliruan yang nyata". [al-An'âm/6 ayat 74].
Syaikh as-Sa'di berkata,"Dan ingatlah (terhadap) kisah Ibrâhîm Alaihissallam manakala Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji dan memuliakannya saat ia berdakwah mengajak kepada tauhid dan melarang dari berbuat syirik.”[7]
Demikian, perjuangan dakwah tauhid yang disampaikan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam kepada kaumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai bagian dari ayat-ayat Al-Qur`ân yang akan selalu dibaca dan dipelajari secara seksama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan (ingatlah) Ibrâhîm, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. [al-Ankabût/29 ayat 16].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkabarkan tentang hamba-Nya, Rasul dan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam sang imam para hunafâ`, bahwa ia Alaihissallam berdakwah mengajak kaumnya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, mengikhlaskan-Nya dalam ketakwaan, memohon rizki hanya kepada-Nya, dan mengesakan-Nya dalam bersyukur"[8]
Keteguhan dakwah tauhid yang diperjuangkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam juga termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat al-Anbiyâ`/21 ayat 51-56. Dan dalam beberapa ayat disebutkan, bahwa dakwah tauhid kepada ayah dan kaumnya dilakukan secara bersamaan, seperti tersebut dalam surat asy-Syu`arâ/26 ayat 69, ash-Shâffât/37 ayat 84.
b. Nabi Ibrâhîm Alaihissallam Tegar Dan Tabah Menghadapi Ujian Dan Siksaan.
Sikap ini tercermin dalam kisah beliau Alaihissallam saat berdakwah mengajak manusia untuk bertauhid dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala , namun kebanyakan menolaknya dengan penuh kenistaan. Ketabahan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam ini menjadi teladan bagi setiap dai dalam mengajak manusia menuju jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala . Kisah ketabahan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam diabadikan dalam Al-Qur`ân melalui firman-firman-Nya. Meskipun kaumnya dengan kuatnya untuk membakar dirinya, namun Nabi Ibrâhîm Alaihissallam tetap tabah dan menyerahkan segala perkara kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Lihat ayat-ayat dalam surat ash-Shâffât/37 ayat 95-98, al-Ankabût/29 ayat 22-25, al-Anbiyâ`/21 ayat 68-69.
Ath-Thabari membawakan riwayat yang sanadnya sampai kepada as-Suddi rahimahullah, ia berkata: “Mereka menahannya dalam sebuah rumah. Mereka mengumpulkan kayu bakar, bahkan hingga seorang wanita yang sedang sakit bernadzar dengan mengatakan 'sungguh jika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan bagiku kesembuhan, maka aku akan mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Ibrâhîm'. Setelah kayu bakar terkumpul menjulang tinggi, mereka mulai membakar setiap ujung tepian dari tumpukkan itu, sehingga apabila ada seekor burung yang terbang di atasnya niscaya ia akan hangus terbakar. Mereka mendatangi Nabi Ibrâhîm Alaihissallam kemudian mengusungnya sampai di puncak tumpukan tinggi kayu bakar tersebut". Riwayat lain menyebutkan, ia diletakkan dalam ujung manjanîq.
Nabi Ibrâhîm Alaihissallam mengangkat kepalanya menghadap langit, maka langit, bumi, gunung-gunung dan para malaikat berkata: “Wahai, Rabb! Sesungguhnya Ibrâhîm akan dibakar karena (memperjuangkan hak-Mu)”
Nabi Ibrâhîm berkata, "Ya, Allah, Engkau Maha Esa di atas langit, dan aku sendiri di bumi ini. Tiada seorangpun yang menyembah-Mu di atas muka bumi ini selainku. Cukuplah bagiku Engkau sebaik-baik Penolong".[9]
Mereka lantas melemparkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam ke dalam tumpukan kayu bakar yang tinggi, kemudian diserukanlah (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala): “Wahai api, jadilah dingin dan selamat bagi Ibrâhîm”.[10]
Kemudian ath-Thabari dan Ibnu Katsir dalam tafsir mereka membawakan riwayat Ibnu 'Abbas dan Abu al-'Aliyah, dan keduanya berkata: “Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan 'dan selamat bagi Ibrâhîm,' niscaya api itu akan membinasakan Ibrâhîm Alaihissallam dengan dinginnya”.[11]
c. Yakin Terhadap Kebesaran Allah Azza wa Jalla
Pada saat Nabi Ibrâhîm diletakkan di ujung manjanîq, ia dalam keadaan terbelenggu dengan tangan di belakang. Kemudian kaumnya melemparkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam ke dalam api, dan ia pun berkata: "Cukuplah Allah Azza wa Jalla bagi kami, dan Dia sebaik-baik Penolong".
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
(cukuplah Allah Azza wa Jalla bagi kami dan Dia sebaik-baik penolong)" telah diucapkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam tatkala ia dilemparkan ke dalam api.[13]
Demikianlah, Nabi Ibrâhîm Alaihissallam sangat yakin dengan kebesaran, pertolongan dan perlindungan Allah Azza wa Jalla , karena beliau sedang memperjuangkan hak Allah Azza wa Jalla yang terbesar, yakni tauhid dalam beribadah kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala .
Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala Berada Di Atas Segalanya
a. Kisah dalam hijrah bersama Hajar dan Ismail[14]
Ketika Ismail baru saja dilahirkan dan dalam penyusuan ibunya (Hajar), Nabi Ibrâhîm Alaihissallam membawa keduanya menuju Baitullah pada dauhah (sebuah pohon rindang)[15] di atas zam-zam. Saat itu, tidak ada seorangpun di Makkah, dan juga tidak ada sumber air.
Nabi Ibrâhîm Alaihissallam meninggalkan jirâb, yaitu kantung yang biasa dipakai untuk menyimpan makanan.[16] Kantung itu berisi kurma untuk keduanya. Juga meninggalkan siqâ` (wadah air)[17] yang berisi air minum. Kemudian Nabi Ibrâhîm Alaihissallam berpaling dan pergi. Hajar mengikutinya sembari berkata: “Wahai, Ibrâhîm! Kemana engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang sunyi dan tak berpenghuni ini?” Hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali, namun Ibrâhîm tidak menoleh, tak pula menghiraukannya. Kemudian Hajar pun bertanya: “Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan engkau dengan ini?”
Ibrâhîm menjawab,“Ya.”
Mendengar jawaban itu, maka Hajar berkata: "Jika demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan meninggalkan kami”. Lantas Hajar kembali menuju tempatnya semula. Adapun Ibrâhîm, ia terus berjalan meninggalkan mereka, sehingga sampai di sebuah tempat yang ia tak dapat lagi melihat isteri dan anaknya. Ibrâhîm pun menghadapkan wajah ke arah Baitullah seraya menengadahkan tangan dan berdoa: Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. [Ibrâhîm /14 ayat 37].
b. Kisah Penyembelihan Ismail.
Nabi Ibrâhîm Alaihissallam berdoa: "Wahai Rabb-ku, karuniakanlah untukku anak yang shalih," maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kabar gembira kepadanya dengan kehadiran seorang anak yang mulia lagi penyabar. Dan tatkala anak itu saat mulai beranjak dewasa berusaha bersama-sama Ibrâhîm, Ibrâhîm berkata kepadanya: "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?"
Isma'il menjawab: "Wahai Ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang sabar".
Saat keduanya telah berserah diri dan Ibrâhîm membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnya: "Wahai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami menebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu) 'Kesejahteraan yang dilimpahkan kepada Ibrâhîm'. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mukminin. Lihat Qs. ash-Shâffât/37 ayat 99-111.
Di dalam tafsir Qurthubi[18] dan Baghawi[19] disebutkan riwayat Ibnu 'Abbas, beliau berkata:
Ibrâhîm dan Isma'il … keduanya taat, tunduk patuh terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ingatlah, renungkanlah kisah itu … ketika keduanya akan melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , dengan tulus dan tabah sang anak berkata:
يَا أَبَتِ اشْدُدْ رِبَاطِيْ حَتَّى لاَ أَضْطَرِبَ....
Wahai Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak.
وَاكْفُفْ عَنِّي ثِيَابَكَ حَتَّى لاَ يَنْتَضِحَ عَلَيْهَا مِنْ دَمِّيْ شَيْءٌ فَيَنْقُصَ أَجْرِيْ وَتَرَاهُ أُمِّيْ فَتَحْزَنُ....
Wahai Ayahku, singsingkanlah baju engkau agar darahku tidak mengotori baju engkau maka akan berkurang pahalaku, dan (jika nanti) Bunda melihat bercak darah itu niscaya beliau akan bersedih
وَيَا أَبَتِ اسْتَحِدَّ شَفْرَتَكَ وَأَسْرِعْ مَرَّ السِّكِّيْنِ عَلَى حَلْقِيْ لِيَكُوْنَ أَهْوَنُ عَلَيَّ فَإِنَّ الْمَوْتَ شَدِيْدٌ....
Dan tajamkanlah pisau Ayah serta percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu amat dahsyat.
وَإِذَا أَتَيْتَ أُمِّيْ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنِّيْ.... وَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تَرُدَّ قَمِيْصِيْ عَلَى أُمِّيْ فَافْعَلْ....
Wahai Ayah, apabila engkau telah kembali maka sampaikan salam (kasih)ku kepada Bunda, dan apabila bajuku ini Ayah pandang baik untuk dibawa pulang maka lakukanlah.
فَقَالَ لَهُ إِبْرَاهِيْمُ : نِعْمَ الْعَوْنُ أَنْتَ يَا بُنَيَّ عَلَى أَمْرِ اللهِ تَعَالَى....
(Saat itu, dengan penuh haru) Ibrahim berkata: "Wahai anakku, sungguh engkau adalah anak yang sangat membantu dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala ".
Ibnu Katsir rahimauhllah berkata:[20] “Ini adalah ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kekasih-Nya (yakni Ibrâhîm Alaihissallam ) untuk menyembelih putranya yang mulia dan baru terlahir setelah beliau berumur senja. (Ujian ini terjadi) setelah Allah memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar saat Ismail masih menyusui di tempat yang gersang, sunyi tanpa tumbuhan (yang dimakan buahnya), tanpa air dan tanpa penghuni. Ia taati perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, meninggalkan isteri dan putranya yang masih kecil dengan keyakinan yang tinggi dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka kemudahan, jalan keluar, serta limpahan rizki dari arah yang tiada disangka. Setelah semua ujian itu terlampaui, Allah menguji lagi dengan perintah-Nya untuk menyembelih putranya sendiri, yaitu Ismail Alaihissallam . Dan tanpa ragu, Ibrâhîm menyambut perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu dan segera mentaatinya. Beliau Alaihissallam menyampaikan terlebih dahulu ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut kepada putranya, agar hati Ismail menjadi lapang serta dapat menerimanya, sehingga ujian itu tidak harus dijalankan dengan cara paksa dan menyakitkan. Subhanallâh…
c. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Ibrâhîm untuk Berkhitan.
Pada saat Ibrâhîm Alaihissallam telah mencapai umur senja (delapan puluh tahun), ia diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beberapa perintah, di antaranya agar beliau berkhitan. Sebagaimana hadits Abi Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً
Ibrâhîm Alaihissallam berkhitan di usia beliau delapan puluh tahun. [21]
Beliau Alaihissallam berkhitan dengan pisau besar (semisal kampak). Meskipun terasa sangat berat bagi diri beliau Alaihissallam , namun hal itu tidak pernah membuatnya merasa ragu terhadap segala kebaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala . Bahkan dalam sebuah riwayat, Ali bin Rabah Radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa : “Beliau (Ibrâhîm Alaihissallam) diperintah untuk berkhitan, kemudian beliau melakukannya dengan qadum. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan 'Engkau terburu-buru sebelum Kami tentukan alatnya'. Beliau mengatakan: 'Wahai Rabb, sungguh aku tidak suka jika harus menunda perintah-Mu'.”[22]
d. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala Untuk Membangun Ka`bah.
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrâhîm di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh," [al-Hajj/22 : 26-27].
Dalam Shahih Bukhâri[23] disebutkan, bahwasanya Ibrâhîm Alaihissallam berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan aku sesuatu”.
Ismail Alaihissallam menjawab: “Lakukanlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada engkau”.
Ibrâhîm Alaihissallam bertanya: “Apakah engkau (akan) membantuku?”
Ismail Alaihissallam menjawab: “Ya, aku akan membantu engkau”.
Ibrâhîm Alaihissallam berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan aku untuk membangun disini sebuah rumah". (Nabi Ibrâhîm Alaihissallam mengisyaratkan tanah yang sedikit tinggi dibandingkan dengan yang ada di sekelilingnya). Saat itulah keduanya membangun pondasi-pondasi. Dan Ismail Alaihissallam membawa kepada ayahnya batu-batu dan Ibrahim Alaihissallammenyusunnya. Sehingga, ketika telah mulai tinggi, ia mengambil batu dan diletakkan agar Ibrahim Alaihissallamdapat naik di atasnya. Demikian, dilakukan oleh keduanya, dan mereka berkata:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [al-Baqarah/2:127].
PELAJARAN DARI KISAH NABI IBRÂHÎM ALAIHISSALLAM
Dari pemaparan kisah-kisah di atas, banyak pelajaran penting dan berharga yang dapat dipetik, di antaranya:
1. Nabi Ibrâhîm Alaihissallam adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Subhanahu wa Ta’ala yang amat taat kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala , sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai hamba yang sangat disayangi.
2. Pilar utama upaya tazkiyyatun-nufûs adalah dalam hal tauhid. Dan berdakwah menyeru kepada tauhid merupakan amanat yang dipikul para nabi, dan sekaligus menjadi panutan bagi setiap dai.
3. Kesabaran dalam mendakwahkan tauhid dan ketabahan dalam menghadapi ujian di jalan itu, harus dilakukan sesuai dengan cara yang dicontohkan oleh para rasul Alaihissallam.
4. Yakin terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam mengarungi kehidupan.
5. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan hal terpenting di atas segalanya. Ketulusan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kebahagiaan. Maka selayaknya kita berupaya secara maksimal untuk melaksanakannya diiringi doa memohon taufik serta kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .
6. Segala contoh kebaikan telah ada pada diri para Rasul Alaihissallam yang harus selalu menjadi suri tauladan bagi kita dalam setiap hal. Wallahul Musta`ân
Marâji`:
1. Al-Bidayah wan-Nihayah, Ismail bin 'Umar bin Katsîr. Tahqîq: Dr. 'Abdullah 'Abdul-Muhsin at- Turki, 1417 H.
2. Al-Jâmi'u li Ahkâmil-Qur`ân, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1427 H.
3. Al-Mu`jamul-Wasîth, Makatabtusy-Syurûq, Cetakan 2.
4. Fathul Qadîr, Muhammad bin Ali asy-Sayukani, Dârul-Fikr, 1414 H.
5. Jami'ul-Bayân fi Ta`wîlil-Qur`ân, Abu Ja`far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Cetakan Dârul- Kutubil-'Ilmiyah, 1426 H.
6. Ma`alimut-Tanzîl, Abu Muhammad bin Mas'ûd al-Baghawi, Cetakan Dârul-Ma`rifah, 1413 H.
7. Musnadul-Imâmi Ahmad, Ahmad bin Hanbal, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1420 H.
8. Shahîh Bukhâri dengan Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al `Asqalâni, Cetakan Dârus-Salâm, 1421 H.
9. Shahîh Qashashil-Anbiyâ`, Syaikh Salim bin 'Id al Hilali, Cetakan Gharras.
10. Tafsîrul-Qur`ânil-Azhîm, Isma'il bin 'Umar bin Katsîr, Cetakan Mu’assatur-Rayyân.
11. Taisîrul-Karîmil-Mannân fî Tafsîrîl-Karîmir-Rahmân, Syaikh 'Abdurrahmân as-Sa`di, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1417 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Disadur dari kitab Manhajul-Anbiyâ` fii Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah, hlm. 8-9.
[2]. Lihat Qs. al-Anbiyâ`/21 ayat 51, yang artinya: Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrâhîm hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun) dan kami mengetahui (keadaan)nya. Juga firman Allah dalam surat an-Nisâ`/ 4 ayat 125, yang artinya: Dan Allah menjadikan Ibrâhîm sebagai kesayangan-Nya.
[3]. Al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz 1, hlm. 326.
[4]. Tafsir as-Sa`di, hlm. 443.
[5]. Tafsir as-Sa`di, hlm. 444.
[6]. Para ulama berbeda pendapat tentang nama ayah Nabi Ibrâhîm Alaihissallam. Namun yang benar –Insya Allah- bahwa namanya adalah yang tertera dalam ayat ini. Lihat Tafsir ath-Thabari dalam ayat ini (5/240). Lihat juga Shahîh Qashashil-Anbiyâ`, Syaikh Salim al-Hilali, hlm. 106.
[7]. Tafsir as-Sa`di, hlm. 224.
[8]. Tafsir Ibnu Katsîr, Juz 3, hlm. 536.
[9]. Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan riwayat ini dalam Fathul-Bâri, Juz 6, hlm. 483.
[10]. Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hlm. 43.
[11]. Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hlm. 43, dan Tafsir Ibnu Katsîr, Juz 3, hlm. 246.
[12]. Manjanîq, ialah alat pelempar batu besar jarak jauh. Lihat al-Mu`jamul-Wasîth, hlm. 131 dan 140.
[13]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri, Juz 8, hlm. 288, no. 4563.
[14]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri, Juz 6, hlm. 478, no. 3364.
[15]. Lihat al-Mu`jamul-Wasîth, hlm. 302.
[16]. Lihat al-Mu`jamul-Wasîth, hlm. 114.
[17]. Lihat al-Mu`jamul-Wasîth, hlm. 436.
[18]. Tafsir al-Qurthubi, Juz 18, hlm. 69.
[19]. Tafsir al-Baghawi, Juz 4, hlm. 33.
[20]. Shahîh Qashashil-Anbiyâ`, hlm. 132.
[21]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri (Juz 6, hlm. 468, no. 3356), Musnad Ahmad (Juz 14, hlm. 34-35).
[22]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri, Juz 6, hlm. 472.
[23]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri, Juz 6, hlm. 480-481, no. 3364.