SURAKARTA (voa Islam) – Pagi ini (14/01/2014) hingga siang atau malam nanti adalah puncak perayaan Sekaten di Kraton Surakarta. Sepulang mengantar anak yang hendak kembali ke tempat bertugasnya di sebuah Ma’had Aly Tahfizh Qur-an, Magetan, crew voa Islam yang hendak masuk dukuh Ngruki dari arah utara kaget terjebak macet.
Ada 15-an ‘Kereta Kelinci’, sebuah kendaraan modifikasi dari mobil-mobil lama yang dibentuk bak kereta, berbaris di sepanjang jalan Pringgolayan. Jika setiap kereta ada 10 bangku panjang dan setiap bangku dimuati 5 orang maka penumpang setiap kereta akan berjumlah 50-an orang dewasa. Jadi, dugaan kuat kami, dari desa tetangga Ngruki ini berangkat 750-an orang dewasa untuk mengikuti prosesi puncak Sekaten di Kraton Surakarta.
Menurut wikipedia.org, Sekaten atau upacara Sekaten (dari kata Syahadatain atau dua kalimat
syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi
Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan
JawaMulud (
Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara
Surakarta dan
Yogyakarta.
Rangkaian acaranya biasanya diurut berbagai kegiatan sebagai berikut: pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set
gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu.
Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid.
Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
Grebeg Muludan
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi.
Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung.
Setelah dido'akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
Tumplak Wajik
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan pada jam 16:00 sore. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan,lumpang untuk menumbuk padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan Gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya.
Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Tumplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya. (tentang Sekaten ini dikutip penuh dari id.wikipedia.org)
... kebodohan sebahagian ummat Islam yang dipelihara kalangan tertentu. Karena kegiatan yang menyedot biaya tidak sedikit ini, tentunya menghajatkan dukungan perizinan penguasa ...
Surakarta, Fenomena Paradoks Indonesia Mini
Sekelumit fakta ini untuk mengingatkan kita semua, bahwa di kota kecil yang telah berdiri berbagai pergerakan Islam dengan segala kecenderungannya ini ternyata masih juga terselip keprihatinan mendalam akan musibah aqidah.
Merebaknya majelis Taklim, Pondok Pesantren hingga aktivitas kelaskaran Islam di Solo bahkan adanya Dewan Syariah berhadapan dengan kebodohan sebahagian ummat Islam yang dipelihara kalangan tertentu. Karena kegiatan yang menyedot biaya tidak sedikit ini, tentunya menghajatkan dukungan perizinan penguasa, pengamanan aparat dan sistem ‘marketing’ yang mapan.
Solo dalam hal ini sebenarnya tidak sendirian. Berbagai daerah di Indonesia masing-masing memiliki kegiatan semakna dan dibakukan dalam pentas nasional sebagai Kearifan Lokal. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup.
Kearifan lokal itu tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat dikatakan bersifat lintas budaya atau lintas etnik sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional. (badanbahasa.kemdikbud.go.id)
Jadi kasus Solo hanyalah miniatur keadaan Indonesia pada umumnya. Dimana budaya lama yang sarat dengan kemusyrikan ingin dicampurkan dengan Islam. Agama yang disiarkan para da’i-da’i muslim ini sebenarnya telah meletakkan arah dan memberi bimbingan bagi bangsa ini kearah hidup yang lebih manusiawi dan beradab.
Hanya dengan campur tangan penguasa sajalah, sinkritisme agama dengan budaya lama akhirnya bisa terjadi. Kemurnian Islam dipertaruhkan diatas altar kepentingan nasional. Disinilah terbukti busuknya agama nasionalisme itu!
Jujur saja, dakwah kita ternyata baru menyentuh hal-hal yang bersifat rutinitas ibadah ritual dan aspek perilaku (khuluqy) semata. Terkadang pada aspek yang lebih tinggi, hanya mampu memberikan 'cangkang' atau lebel syari'ah pada satu subsektor sistem ekonomi, misalnya.
Namun melupakan intisari dakwah yang diserukan para Rasul 'alaihimussalam. Bahkan kegiatan amar ma'ruf nahi munkar yang membatasi target pada sektor kemaksiatan seperti miras, judi, khalwat dan lain-lain, sebagaimana yang marak di Solo atau di tempat lain, nyatanya juga belum beranjak kepada penegakan inti ajaran Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini.
Bukankah musibah ini jauh lebih besar dan lebih dahsyat dampak bahayanya dari pada sekedar bencana banjir yang banyak menyita perhatian bahkan menyedot anggaran ? Wallohu Ta'ala A'lamu bis showwab!
(Abu Fatih/voa Islam)