SUATU ketika, Imam Ahmad Rahimahullahu (ra) bercerita: Ada dua kalimat yang Allah menguatkanku dengannya dalam menjalani urusan agama ini.
Pertama; ucapan yang dilontarkan oleh seorang tahanan dalam bui. “Wahai Ahmad, teguhlah Engkau. Sesungguhnya kamu dihukum dera karena (urusan) sunnah. Sungguh aku telah dicambuk berkali-kali hanya gara-gara minuman keras. Itupun aku tetap bersabar.” Firman Allah, “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (Surah ar-Rum [30]: 60).
Kedua; ucapan seorang Arab pegunungan (Arab Badui) kepada Imam Ahmad. Ketika itu Imam Ahmad diseret masuk penjara sedang rantai menjulur mengikat kuat kedua tangannya. “Wahai Ahmad, bersabarlah. Sesungguhnya Engkau bakal dibunuh di tempat ini dan Engkau akan masuk surga dari tempat ini pula. Firman Allah, “Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal.” (Surah at-Taubah [9]: 21).
Ragam warna dalam kehidupan adalah sunnatullah (ketetapan Allah) yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Ada hidup ada mati, ada lara ada bahagia, ada lelah ada semangat, ada kalah ada menang dan seterusnya. Itulah fitrah seorang manusia, siapapun dia. Ibarat pasangan yang saling melengkapi. Seperti itulah warna dunia.
Kehidupan manusia justru menjadi indah dan cerah ketika hidupnya tidak melulu didominasi oleh satu warna saja. Selain tidak mungkin, sejatinya tarbiyah dengan berbagai macam rasa itulah yang menjadikan manusia itu lebih tertempa.
Demikian cara Allah mendidik hamba-Nya. Meski berlabel “makhluk yang paling sempurna” serta dikarunia berbagai nikmat dari Allah, tetap saja manusia adalah makhluk yang lemah di hadapan Sang Pencipta.
Dengan sandaran seperti itu, niscaya orang-orang beriman senantiasa tegar dalam setiap urusan. Baginya segala persoalan yang dihadapi adalah metode dari Allah untuk mendidik dirinya menjadi sosok yang lebih baik.
Seluruh yang terjadi hanyalah rangkaian sunnatullah yang berlaku secara bergilir bagi setiap makhluk-Nya.
Termasuk bagi orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk agama ini. Apa yang mereka alami sesungguhnya persis sama dengan orang-orang yang juga menghabiskan energinya untuk mengejar dunia.Bahkan untuk kemaksiatan sekalipun.
Namun ada satu hal yang memisahkan di antara mereka, yaitu perbedaan nilai di sisi Allah. Boleh jadi mereka yang berlari sama-sama lelah dan berpeluh keringat. Tapi tentu saja yang berjuang di jalan Allah lebih utama di sisi Allah dibanding orang-orang yang mengejar dunia semata.
Mereka yang saling berperang sama-sama terluka bahkan terbunuh. Tapi harapan itu hanyalah milik orang beriman. Surga itu hanya disediakan buat orang yang bertauhid dan berjuang menegakkan agama. Bukan untuk mereka yang kufur dan mengingkari nikmat-nikmat Allah.
Inilah spirit yang menggerakkan Imam Ahmad. Ia rela bertahan meski tubuhnya harus berbalut deraan cambuk penguasa dzalim. Inilah rahasia gemilang para sahabat yang hidup bersama Nabi Muhammad. Sekumpulan manusia biasa yang lalu dikenang sebagai generasi terbaik sepanjang sejarah kehidupan.
Sebab mereka yakin imbalan Allah selalu lebih baik daripada apa yang dijanjikan oleh manusia. Terkesan sama dan sesuatu yang biasa, tapi (sekali lagi) ada nilai dan motivasi yang membedakan.
وَلاَ تَهِنُواْ فِي ابْتِغَاء الْقَوْمِ إِن تَكُونُواْ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللّهِ مَا لاَ يَرْجُونَ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“… Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan…” (Quran Surah an-Nisa [4]: 104).*/Masykur Abu Jaulah