WAJIBNYA hukum seorang suami menafkahi keluarganya karena keluarga adalah tanggung jawab suami dan menjadi tulang punggung keluarga! Hendaknya bergembira karena dijanjikan surga oleh Rasulullah subhanahu wata’aala, yakni selama Anda berada di jalanNya.
Konstruksi hukum fiqih memang me-wajib-kan suami menafkahi istri dan kelauarganya. Menafkahi di sini dalam arti mencukupi kebutuhan lahir dan batin bagi mereka, terutama kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan. Konstruksi itu didasarkan pada pendapat para ulama, terutama para ulama fiqih ketika memaknai beberapa teks al-Qur’an dan al-Hadits. Dalil yang paling sering dikutip antara lain (Q.S. An-Nisa [4]: 34).
Tidak hanya para ulama fiqih, ulama tafsir, ulama tasawuf, dan lain sebagainya, juga sepakat akan otoritas teks tersebut. Ibnu Katsir misalnya, seorang mufassir terkemuka, juga sepakat, dengan mengatakan bahwa kenabian dan kekuasaan hanya diberikan kepada kaum laki-laki.
Namun, setiap hukum fiqih yang dirumuskan oleh para ulama, selalu ada sesuatu yang bersifat pengecualian (istitsna’). Tak jauh berbeda dengan hukum wajib suami menafkahi istri dan keluarganya. Jika sang suami ”tidak mampu” melakukannya, maka demi menjaga keutuhan keluarga, istri diperbolehkan mencari nafkah bagi keluarganya.
Selain itu, jika dilihat dari hukum mahar (sebagai hak mutlak sang istri terhadap suaminya), karena suatu sebab, mahar boleh digunakan atau dipinjam oleh sang suami, baca Q.S. An-Nisa’ [4]: 4. Artinya, hak istri adalah diberi nafkah, kewajiban suami memberi nafkah, karena suatu sebab istri merelakannya, maka hal itu diberbolehkan. Apalagi realitas sosial-budaya kita saat ini, memberikan peluang yang sangat besar bagi kaum perempuan untuk berkarir, bahkan terkadang mampu menutup peluang bagi kaum laki-laki.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa istri boleh menafkahi suaminya dan dianggap sebagai hutang suami. Selanjutnya, bila suatu saat telah mampu, ia wajib membayarnya. Namanya juga hutang, kalau sudah ada maka harus dibayar, dalam arti tetap harus berusaha agar dapat melunasi hutang-hutang tersebut. Jika istri memberikannya dengan rela, maka tidak dianggap hutang, hal itu jauh lebih baik, dan dia mendapatkan dua pahala: pahala karena hubungan persahabatan dan pahala sedekah.
Mengenai istri meminta agar suami tinggal di rumah, mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, hal itu sah-sah saja, asalkan dilakukan dengan cara yang baik. Cara yang baik dalam arti permintaan itu tidak dilakukan dengan cara memaksa, atau merendahkan harkat dan martabat suami. Bagaimanapun juga, kedudukan suami tetap lebih tinggi dalam keluarga, sebagai kepala keluarga.
Selain itu, mengasuh anak juga penting. Jangan sampai hanya karena persoalan ekonomi, membuat anak menjadi terlantar. Dari pada diberikan kepada pembantu, maka keberadaan dan kasih sayang seorang ayah akan lebih baik ketimbang orang lain.
Akan tetapi, jika alasannya karena nominal ekonomis belaka, hal itu sulit dibenarkan. Karena kita tidak boleh mengukur segala sesuatu dengan nominalnya saja. (Q.S. Ath-Thalaq [65]: 7). Jika itu yang menjadi alasan, maka bisa jadi sang istri akan termasuk orang-orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah, dan menyebabkannya menerima azab yang pedih (Q.S. Ibrahim [14]: 7).
Persoalannya kemudian, mampukah sang istri menjaga dan menahan dirinya dari berbagai godaan di luar sana yang demikian dahsyat? Mampukah sang suami bertahan dalam pandangan masyarakat yang terkadang miring? Jika ia, maka tidak ada salahnya sang suami menuruti istrinya agar sementara menggantikan beban dan tanggungjawab sang istri, sambil terus berusaha untuk menunaikan amanah sebagai kepala keluarga.
Satu lagi, tentang mengajar mengaji. Ini bisa saja dilakukan, barangkali kita akan memperoleh berkah dari do’a anak-anak yang masih suci, untuk kemuliaan dan kebaikan kita selanjutnya. Siapa tahu dari situ terbuka jalan, bagi Allah untuk mengangkat harkat dan martabat kita sebagai kepala keluarga. Sebab, mereka lebih dekat kepada Allah. Allahu a’lam bish shawab