Oleh : Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Disyari’atkan untuk menta’ziah keluarga mayit dengan hal-hal yang bisa menghibur mereka, meringankan kesedihan dan beban mereka, juga bisa membuat mereka selalu bersabar dan ridha, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam manakala mengetahui dan menghadiri keluarga mayit, kalau pun tidak mampu, maka cukuplah dengan mengucapkan kata-kata yang baik yang bisa mewujudkan tujuan dan tidak bertentangan dengan syari’at.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, ia berkata, ‘Di saat kami bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada utusan dari salah seorang puteri beliau mengabarkan bahwasanya ada anaknya yang meninggal dunia dan ia mengharapkan beliau supaya menyaksikannya, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِرْجِعْ إِلَيْهَا فَأَخْبِرْهَا: أَنَّ ِللهِ ماَ أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى، فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ.
"Kembalilah engkau kepadanya dan beritahukan kepadanya bahwa milik Allah-lah segala yang Dia ambil, dan kepunyaan-Nya pula segala yang Dia beri, dan segala sesuatu di sisi-Nya telah ditentukan, maka perintahkanlah ia untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah…’” [1]
Ada dua perkara yang harus dijauhi saat melawat ke keluarga mayit, walaupun orang-orang banyak melakukannya:
1. Berkumpul untuk ta’ziyah di tempat khusus, baik itu di rumah, kubur atau di masjid.
2. Keluarga mayit menyediakan jamuan makanan bagi orang-orang yang datang melawat.
Hal ini berdasarkan pada hadits Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali, ia berkata, “Kami (para Sahabat) menganggap berkumpul di keluarga mayit, dan jamuan makanan setelah penguburannya termasuk dalam meratapi mayit.” [2]
Dan yang disunnahkan adalah agar tetangga dan kerabat mayit membuatkan makanan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga yang sedang ditinggal, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Ketika berita kematian Ja’far telah tersebar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرَ طَعَاماً, فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ , أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ.
“Buatkanlah bagi keluarga Ja’far makanan karena mereka telah ditimpa perkara yang menyibukkan mereka.” [3]
Hal-Hal Yang Bermanfaat Bagi Mayit
Orang yang meninggal dunia bisa mengambil manfaat dari beberapa amal yang dilakukan orang lain, diantaranya:
1. Do’a kaum muslimin bagi si mayit, berdasarkan firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” [Al-Hasyr: 10]
Juga berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ِلأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ, عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ, كُلَمَّا دَعَا ِلأَخِيْهِ، قَالَ: الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْنَ وَلَكَ بِمِثْلٍ.
“Do’a seorang muslim untuk saudaranya dari kejauhan adalah mustajab, di atas kepalanya ada seorang Malaikat, setiap dia mendo’akan kebaikan bagi saudaranya, maka Malaikat itu berkata, ‘Semoga do’a itu dikabulkan dan bagimu yang semisalnya.’” [4]
2. Melunasi hutangnya, oleh siapa pun juga, sebagaimana Abu Qatadah melunasi hutang si mayit sebesar dua dinar dalam hadits yang lalu.
3. Melaksanakan nadzar si mayit, baik puasa atau yang lainnya, berdasarkan hadits Sa’ad bin ‘Ubadah, bahwasanya ia minta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, “Ibuku telah wafat dan beliau punya hutang nadzar?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Tunaikanlah nadzarnya.” [5]
4. Amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shalih, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [An-Najm: 39]
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ, وَإِنَّ الْوَلَدَ مِنْ كَسْبِهِ.
“Sesungguhnya sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah yang berasal dari jerih payahnya dan anak adalah termasuk dari jerih payahnya (usahanya).” [6]
5. Apa-apa yang ditinggalkan dari amal-amal shalih dan shadaqah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.
“Jika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, atau (3) anak shalih yang mendo’akannya.” [7]
Ziarah Kubur
Disyari’atkan untuk berziarah kubur agar kita bisa mengambil pelajaran darinya dan agar kita lebih mengingat akhirat, tetapi dengan syarat tidak mengucapkan di sisi kuburan apa-apa yang dimurkai Allah, seperti berdo’a kepada penghuni kubur, beristi-ghatsah dengan selain Allah dan yang semisal dengan hal-hal tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوهَا فَاِنَّ فِيْهَا عِبْرَةٌ وَلاَ تَقُوْلُوْا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ.
“Dahulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, dan sekarang ziarahlah kalian karena padanya terdapat pelajaran dan janganlah kalian mengucapkan kata-kata yang dimurkai Allah.” [8]
Dalam permasalahan ini, wanita sama seperti laki-laki, yaitu keduanya disunnahkan untuk berziarah kubur, disebabkan keikutsertaan mereka dengan laki-laki dalam sebab (alasan) yang karenanya disyari’atkan ziarah kubur. Juga berdasarkan hadits tentang do’a ketika berziarah, bahwasanya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang apa yang harus ia ucapkan saat berziarah, maka beliau pun mengajarinya do’a ziarah kubur dan saat itu beliau tidak melarangnya untuk berziarah. Juga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepadanya bahwa tidak disyari’atkan bagi kaum wanita ziarah kubur.
Hal-Hal Yang Haram Dilakukan Di Sisi Kuburan:
1. Menyembelih hewan dengan niat mengharapkan wajah Allah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لاَ عَقَرَ فِي اْلإِسْلاَمِ.
“Tidak ada sembelihan (untuk dijadikan sesajen) dalam Islam.”
‘Abdurrazzaq bin Hisyam berkata, “Dahulu mereka menyembelih sapi dan kambing di atas kuburan.” [9]
2 - 6. Beberapa perkara yang tercantum dalam hadits berikut ini:
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang (1) mengapur kuburan, (2) duduk di atasnya, (3) membangunnya atau (5) menambah ketinggiannya, juga (6) menulis di atasnya.” [10]
7.Shalat menghadap kuburan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لاَ تُصَلُّوا إِلَى القُبُوْرِ...
“Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan…” [11]
8. Shalat di sisi kuburan walaupun tidak menghadap kepadanya.
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َاْلأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةُ وَالْحَمَّامُ.
“Semua permukaan bumi adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” [12]
9. Membangun masjid di atasnya.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu dan ‘Abdullah bin ‘Abbas, mereka berkata, “Ketika turun wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau mulai menutup wajahnya dengan kain bergaris yang beliau miliki, manakala dia telah menutup wajahnya beliau membukanya kembali, sambil berkata dalam keadaan seperti itu:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ, يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوْا.
“Sesungguhnya laknat Allah atas kaum Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid. Beliau memperingatkan umat agar tidak mengikuti apa yang mereka lakukan.” [13]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit yang mengantar kematiannya:
لَعَنَ اللهُ اليَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashara, karena mereka telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.”
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Kalau saja bukan karena itu, niscaya akan ditampakkan kuburnya. Hanya saja dikhawatirkan akan dijadikan sebagai masjid.” [14]
10. Menjadikannya sebagai tempat perayaan, dengan cara mengunjunginya pada waktu-waktu tertentu dan musim-musim tertentu, dengan tujuan untuk beribadah ataupun yang selainnya.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِي عِيْدًا, وَلاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا, وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِى.
“Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai tempat perayaan, dan jangan pula kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan, di manapun kalian berada bershalawatlah kepadaku karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku.” [15]
11. Sengaja mengadakan perjalanan jauh (safar) ke kuburan, diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ, الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.
“Janganlah kalian bepergian jauh kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” [16]
12. Menyalakan lampu di atasnya, karena ini adalah bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh para Salafush Shalih.
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
“Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.” [17]
Disebabkan juga karena padanya terdapat unsur penyia-nyiaan harta dan hal ini adalah terlarang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا: قِيْلَ وَقَالَ, وَإِضَاعَةَ الْمَالِ, وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ.
“Sesungguhnya Allah membenci bagi kalian tiga hal; (1) desas-desus (gosip), (2) menyia-nyiakan harta, dan (3) banyak bertanya.” [18]
13. Mematahkan tulang-tulang mayit, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِنَّ كَسْرَ عِظَمِ الْمُؤْمِنِ مَيِّتًا مِثْلَ كَسْرِهِ حَيًّا.
“Mematahkan tulang seorang mayit muslim sama seperti mematahkannya di saat hidupnya.” [19]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/150, no. 1284), Shahiih Muslim (II/635, no. 923).
[2]. Shahih: [Shahih Sunan Ibni Majah (no. 1308)], Sunan Ibni Majah (I/514, no. 1612).
[3]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1015)], Sunan Abi Dawud (VIII/406, no. 3116), Sunan at-Tirmidzi (II/234, no. 1003), Sunan Ibni Majah (I/514, no. 1610).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3381)], Shahiih Muslim (IV/2094, no. 2733).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (V/389, no. 2761), Shahiih Muslim (III/1260, no. 1638), Sunan Abi Dawud (IX/134, no. 3283), Sunan at-Tirmidzi (III/51, no. 1586), Sunan an-Nasa-i (VII/21).
[6]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1626)], Sunan Abi Dawud (IX/444, no. 3511) ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (II/406, no. 1369), Sunan Ibni Majah (II/723, no. 2137), Sunan an-Nasa-i (VII/241).
[7]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 793)], Shahiih Muslim (III/1255, no. 1631), Sunan Abi Dawud (VIII/86, no. 2863), Sunan at-Tirmidzi (II/418, no. 1390), Sunan an-Nasa-i (VI/251).
[8]. Shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 179], Mustadrak al-Hakim (I/374), al-Baihaqi (IV/77), tanpa kalimat yang terakhir, sesungguhnya itu adalah riwayat al-Bazzar (I/407, no. 861).
[9]. Sanadnya shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 203], Sunan Abi Dawud (IX/42, no. 3206).
[10]. Sanadnya shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 204], Sunan Abi Dawud (IX/45, no. 32109) ini adalah riwayatnya, dan diriwayatkan pula dengan ada sedikit penambahan dan pengurangan pada Shahiih Muslim (II/667, no. 970), Sunan at-Tirmidzi (II/257, no. 1055), Sunan an-Nasa-i (IV/86).
[11]. Shahih: [ Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 7348)], Shahiih Muslim (II/668, no. 972), Sunan Abi Dawud (IX/49, no. 3213), Sunan at-Tirmidzi (II/257, no. 1055), Sunan an-Nasa-i (II/67).
[12]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2767)], Sunan Abi Dawud (II/158, no. 488), Sunan at-Tirmidzi (I/199, no. 316).
[13]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/140, no. 4444)], Shahiih Muslim (I/377, no. 531), Sunan an-Nasa-i (II/40).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/200, no. 1330)], Sha-hiih Muslim (I/376, no. 529), Sunan an-Nasa-i (II/41).
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7226)], Sunan Abi Dawud (VI/31, no. 2026).
[16]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/63, no. 1189), Shahiih Muslim (II/1014, no. 1397), Sunan Abi Dawud (VI/15, no. 2017), Sunan an-Nasa-i (II/37).
[17]. Telah berlalu takhrijnya.
[18]. Muttafaq ‘alaih: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/340, no. 1477), Sha-hiih Muslim (III/1340, no. 1715).
[19]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2191), Sunan Abi Dawud (IX/24, no. 3191), Sunan Ibni Majah (I/516, no. 1616).