bagian 2
HIKMAH DI BALIK TERLARANGNYA SHALAT DI KUBURAN
Para Ulama Islam sepakat bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah terlarang.[20] Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah (sebab) terlarangnya perbuatan tersebut; [21]
Sebagian Ulama memandang bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia. Ada juga Ulama lain yang berpendapat bahwa sebabnya adalah karena khawatir umat ini akan terjerumus ke dalam perbuatan syirik.
Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram rahimahullah (w. 273)[22] , al-Mawardi rahimahullah (w. 450 H)[23] , Ibn Qudâmah rahimahullah [24] , Ibn Taimiyyah rahimahullah (w. 728 H)[25] , as-Suyuthi (w. 911 H)[26] dan yang lainnya.
Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindakan menjadikan kuburan sebagai berala, Imam Suyuthi memperjelas njelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan umat ini akan menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as-Suyuti memeperjelas, “Inilah sebabnya mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau syirik di bawahnya.
Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri di kuburan orang salih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Sebuah bentuk peribadatan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh; maksudnya adalah masjid! …
Inilah mafsadah (keburukan) yang dicegah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sumbernya. Hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu atau celah yang berpotensi menghantarkan kepada kerusakan yang bisa memicu peribadatan kepada berhala.” [27]
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nas. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau rahimahullah paparkan :
1. Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.
2. Tempat masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulunya adalah kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kuburan tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.
3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh k melarang bumi untuk memakan jasad mereka. [28]
HUKUM ORANG SHALAT DI KUBURAN
Secara umum shalat di area kuburan itu terlarang, namun bagaimana dengan orang yang melakukannya ? Apakah hukumnya satu atau bagaimana ?
Kalau kita lihat faktanya, orang-orang yang shalat di area kuburan itu memiliki tujuan beragam. Berdasarkan ini, maka hukum bagi masing-masing pelaku juga berbeda berdasarkan niatnya.
Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk penghuni kubur.
Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar (besar); karena ia telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menegaskan :
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh, maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh. [al-Jinn/72:18]
Kedua: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan bertabaruk (memohon berkah) dengan tempat kuburan tertentu. Perbuatan seperti ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya maupun tidak. Karena itu termasuk mengada-adakan suatu yang baru dalam praktek beribadah.
as-Suyuthi rahimahullah menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan doanya terkabul di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . (Dan ini ) menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah yang tidak dizinkan oleh Allâh k dalam agama, juga Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para imam kaum Muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.” [29]
Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H)[30] , al-Munawa[31] dan ar-Rumi (w. 1043 H)[32] juga menyampaikan keterangan senada.
Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan bertabarruk (ngalap berkah darinya) atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh Azza wa Jalla.
Tentang yang ketiga ini, para Ulama berbeda pendapat [33]. Namun yang lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang berpotensi menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Mundzir (w. 319 H). [34]
Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berikut menunjukkan hal itu boleh dilakukan :
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ، فَقَالُوا: "مَاتَ". قَالَ: "أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟". قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: "دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ!" فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ"
“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasûlullâh Shallalalhu ‘alaihi wa sallam kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya.
“Dia sudah meninggal” jawab para sahabat.
“Mengapa kalian tidak memberitahuku?”
Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkan padaku di mana kuburannya?”
Setelah ditunjukkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat atasnya, lalu bersabda, “Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas mereka”. [HR. Bukhâri (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan redaksi Muslim].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari tesis kami yang berjudul Mazhâhirul Inhirâf fî Tauhîdil ’Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islam minhâ (hlm. 974-990).
[2]. Lihat az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir karya Ibn Hajar al-Haitamy (I/148).
[3]. Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
[4]. Faidh al-Qadîr (VI/318).
[5]. Lihat Subul as-Salâm (I/403).
[6]. Syarh as-Sunnah (II/411).
[7]. Lihat Syarh Shahih al-Bukhari (II/86).
[8]. Lihat Fathul Bâri karya Ibn Rajab (III/232).
[9]. Fathul Bâri karya beliau (I/528).
[10]. Al-Mustadrak (I/251).
[11]. Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/189).
[12]. Irwâ’ al-Ghalîl (I/320).
[13]. Lihat al-Mughni (II/472).
[14]. Cermati Syarah Shahîh Muslim (V/5).
[15]. Sebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadîr (III/349).
[16]. HR. Mâlik dalam al-Muwattha’ (II/72 no. 452) dari ‘Atha’ bin Yasar t . Hadits ini mursal sahih. Dalam Musnadnya (I/220 no. 440 –Kasyf al-Astâr) al-Bazzar menyambung sanad hadits ini hingga menjadi marfû’. Begitu pula Ibn ‘Abd al-Barr dalam at-Tamhîd (V/42-43) menyambungnya dari jalan al-Bazzar. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini sahih dalam Tahdzîrus Sâjid (hlm. 25 no. 11) dan Ahkâmul Janâ’iz (hlm. 217).
[17]. At-Tamhîd (V/45).
[18]. At-Tamhîd (VI/383).
[19]. Al-I’lâm bi Fawâ’id ‘Umdatil Ahkâm (IV/502).
[20]. Cermati Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488).
[21]. Lihat al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60), Raddul Muhtâr karya Ibn ‘Abidin (II/42-43) dan Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190).
[22]. Sebagaimana dinukil Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ighâtsatul Lahfân (I/357).
[23]. Periksa al-Hâwiy al-Kabîr (III/60).
[24]. Cermati al-Mughni (II/473-474 dan III/441).
[25]. Lihat Iqtidhâ’ush Shirâthil Mustaqîm (II/190-191).
[26]. Baca al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 136-139).
[27]. al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 136-139).
[28]. Lihat: Ighâtsah al-Lahfân (II/353-356). Masih ada argumen lain, bisa dibaca di Mujânabah Ahlits Tsubûr al-Mushallîn fî al-Masyâhid wa ‘inda al-Qubûr karya Abdul Aziz ar-Rajihy (hlm. 28-30).
[29]. Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
[30]. Cermati Az-Zawâjir (I/148).
[31]. Periksa Faidhul Qadîr (VI/407).
[32]. Lihat Majâlisul Abrâr (hlm. 126, 358-359, 364-365) sebagaimana dalam Juhûd ‘Ulamâ’ al-Hanafiyyah fî Ibthâl ‘Aqâ’idil Quburiyyah karya Syamsuddin al-Afghany (III/1593-1594).
[33]. Untuk mengetahui pendapat mereka, baca; untuk referensi Madzhab Hanafi : al-Ikhtiyâr li Ta’lîl al-Mukhtâr karya al-Mushily (I/97), Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (I/380), Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kasany (I/335-336) dan al-Mabsûth karya as-Sarkhasy (I/206-207). Madzhab Maliki : al-Mudawwanah karya Abu al-Walid Ibn Rusyd (I/182) dan Mawâhib al-Jalîl karya al-Hathab (II/63-64). Madzhab Syafi’i: Al-Umm karya Imam Syafi’i (II/632), al-Muhadzab karya asy-Syirazy (I/215-216) dan al-Majmû’ karya an-Nawawy (III/163-165). Madzhab Hambali: Al-Mughny karya Ibn Qudamah (II/473-474), al-Inshâf karya al-Mardawy (I/489) dan ar-Raudh al-Murbi’ karya Ibn al-Qasim (I/537). Madzhab Dzahiri: Al-Muhallâ karya Ibn Hazm (IV/27-33).
[34]. Cermati al-Ausath (V/185).