Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
7. Orang-Orang yang Mengingkari Hadits-Hadits Tentang al-Mahdi dan Bantahan Terhadap Mereka
Telah kami ungkapkan sebelumnya hadits-hadits shahih yang merupakan dalil secara qath’i akan kemunculan al-Mahdi di akhir zaman sebagai seorang hakim dan pemimpin yang adil. Demikian pula kami telah menukil beberapa pendapat ulama yang mengungkapkan secara jelas bahwa hadits tentang al-Mahdi adalah mutawatir, juga sebagian karya tulis yang disusun oleh para ulama tentangnya.
Di antara hal yang sangat disayangkan bahwa ada sebagian penulis[1] di zaman sekarang ini mengingkari kemunculan al-Mahdi. Mereka mensifati berbagai hadits tentangnya dengan kontradiktif dan kebathilan (tidak benar), dan sesungguhnya al-Mahdi hanyalah cerita bohong yang dibuat oleh kaum Syi’ah, kemudian masuk ke dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah.
Para penulis tersebut telah terpengaruh dengan pendapat yang telah masyhur dari Ibnu Khaldun, seorang ahli sejarah rahimahullah,[2] di mana beliau telah mendha’ifkan hadits-hadits tentang al-Mahdi. Padahal Ibnu Khaldun bukanlah pakar di bidang ini sehingga pendapatnya dalam menshahihkan dan mendha’ifkan hadits bisa diterima. Sungguh pun demikian beliau telah berkata -setelah menuturkan hadits yang banyak tentang al-Mahdi, dan melemahkan sebagian besar sanadnya-, “Inilah beberapa hadits yang ditakhrij oleh para al-Imam tentang al-Mahdi, yang akan keluar di akhir zaman, yaitu: -sebagaimana kamu lihat- hadits-hadits tersebut tidak terlepas dari kritikan kecuali sedikit sekali atau lebih sedikit.”[3]
Ungkapan beliau menunjukkan adanya sedikit hadits yang selamat dari kritikan.
Kami katakan: Seandainya ada satu hadits saja yang shahih, maka hal itu sudah cukup sebagai hujjah bagi adanya al-Mahdi. Bagaimana (mungkin) sementara hadits-hadits tersebut shahih bahkan mutawatir?!
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata sebagai bantahan terhadap pendapat Ibnu Khaldun, “Sesungguhnya Ibnu Khaldun tidak memahami benar perkataan para ahli hadits ‘al-Jarhu Muqaddamun ‘alat Ta’dil,’ dan seandainya saja dia menelaah perkataan para pakar hadits dan pemahamannya, niscaya dia tidak akan pernah mengatakan apa-apa yang telah dia katakan. Mungkin pula sebenarnya dia telah membaca dan mengetahuinya, akan tetapi melemahkan hadits al-Mahdi karena keadaan politik yang menekannya saat itu.”[4]
Kemudian beliau menjelaskan bahwa apa yang ditulis oleh Ibnu Khaldun di dalam pembahasan ini tentang al-Mahdi dipenuhi dengan kekeliruan dalam nama-nama perawi dan penukilan/penyebutan illah-illahnya (cacat hadits). Beliau memakluminya karena hal itu bisa saja bersumber dari para penulis dan karena kelalaian orang-orang yang menshahihkannya, wallahu a’lam.
Di sini kami akan menjelaskan secara ringkas apa-apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang al-Mahdi. Hal itu merupakan contoh bagi yang lainnya dari para pengingkar hadits tentang al-Mahdi.
Beliau rahimahullah berkata, “Adapun tentang kontradiksi di dalam hadits-hadits tentang al-Mahdi, maka hal itu sangat kuat dan sangat nampak. Demikian pula menyatukan berbagai riwayat tentangnya lebih sulit, dan orang-orang yang mengingkarinya lebih banyak. Begitu juga kerancuan yang ada di dalamnya lebih jelas, karena itulah Imam al-Bukhari dan Muslim tidak menyebutkan sedikit pun tentangnya di dalam kitab Shahiih keduanya. Dan hal itu (penyebutan riwayat tentang Mahdi) merupakan sumber (pendorong) kerusakan dan fitnah yang paling besar di masyarakat muslim.”[5]
Selanjutnya beliau menuturkan berbagai contoh kontradiksi di dalam hadits tentang al-Mahdi -menurut sangkaannya- di antaranya perkataan beliau, “Sesungguhnya riwayat yang paling masyhur tentang namanya dan nama bapaknya menurut Ahlus Sunnah adalah Muhammad bin ‘Abdillah, dan di dalam riwayat yang lain Ahmad bin ‘Abdillah. Sementara Syi’ah Imamiyyah sepakat bahwa namanya adalah Muhammad bin al-Hasan al-‘Askari. Keduanya (Muhammad dan al-Hasan) adalah urutan kesebelas dan kedua dua belas dari para imam mereka yang mereka anggap maksum (suci dari dosa). Mereka memberi julukan al-Hujjah, al-Qa-im dan al-Muntazhar.... Sementara al-Kisa-niyyah[6] menyangka bahwa al-Mahdi adalah Muhammad bin al-Hanafiyyah (keturunan ‘Ali Radhiyallahu anhu dari isteri beliau selain Fathimah), dan sesungguhnya dia masih hidup serta bermukim di gunung radhawa....[7]
Beliau pun berkata, “Yang masyhur dari nasabnya bahwa dia adalah keturunan Ali dan Fathimah dari anaknya al-Hasan, sementara di sebagian riwayat dari keturunan al-Husain, sesuai dengan perkataan Syi’ah al-Imamiyyah, dan ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa dia dari keturunan al-’Abbas.”[8]
Kemudian beliau menuturkan bahwa banyak cerita Israailiyat (yang bersumber dari bani Israil) yang telah masuk ke dalam kitab-kitab hadits; “Demikian pula sesungguhnya orang-orang yang fanatik terhadap keturunan ‘Ali, ‘Abbas dan Persia memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membuat hadits palsu tentang al-Mahdi, setiap kelompok mengaku bahwa dia (al-Mahdi) berasal dari kelompoknya, sementara kaum Yahudi dan orang Persia telah menyebarluaskan riwayat-riwayat ini dengan tujuan mengelabui kaum muslimin, sehingga mereka bersandar kepada kedatangan al-Mahdi yang akan diberikan pertolongan oleh Allah untuk menegakkan agama ini, dan menyebarkan keadilan ke seluruh alam.”[9]
Adapun jawaban atas pernyataan-pernyataan Syaikh Rasyid Ridha ini bahwa berbagai riwayat yang menjelaskan keluarnya al-Mahdi adalah shahih bahkan mutawatir secara makna, sebagaimana sebagian haditsnya telah kami sebutkan, juga para ulama yang secara jelas menyebutkan keshahihan hadits juga kemutawatirannya.
Adapun pengakuan bahwa asy-Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) tidak memasukkan sedikit pun hadits tentang al-Mahdi, maka kami katakan: Sesungguhnya seluruh Sunnah tidak termaktub di dalam ash-Shahiihain saja, bahkan di dalam kitab lainnya ada banyak hadits shahih; baik di dalam kitab-kitab as-Sunan, Musnad, Mu’jam dan yang lainnya dari kitab-kitab hadits.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Bukhari dan Muslim tidak memaksakan diri untuk meriwayatkan seluruh hadits yang dihukumi shahih, bahkan keduanya telah menshahihkan hadits-hadits yang tidak ada di dalam kitab Shahiih keduanya, sebagaimana dinukil oleh at-Tirmidzi juga yang lainnya dari al-Bukhari tentang penshahihan hadits-hadits yang tidak ada di kitabnya tetapi ada di dalam as-Sunan dan yang lainnya.”[10]
Adapun tentang keadaan hadits yang telah dimasuki dengan banyak cerita israiliyyat dan sebagiannya adalah hadits palsu yang dibuat kaum Syi’ah juga yang lainnya dari golongan yang fanatik, maka sesungguhnya hal ini benar adanya. Akan tetapi para imam di bidang hadits telah menjelaskan yang shahih dari selainnya. Mereka telah menulis kitab-kitab tentang hadits-hadits palsu, menjelaskan riwayat-riwayat yang lemah, bahkan meletakkan kaidah-kaidah yang sangat teliti dalam menghukumi para perawi hadits, sehingga tidak tersisa seorang ahli bid’ah dan pendusta pun melainkan mereka jelaskan jati dirinya. Maka Allah-lah yang telah menjaga as-Sunnah dari perbuatan orang yang sia-sia, dari perbuatan merubah orang-orang yang melewati batas, dan dari sikap meniru orang-orang yang berlaku sesat, dan ini merupakan penjagaan dari Allah atas agama ini.
Dan jika memang ada riwayat maudhu’ (palsu) tentang al-Mahdi akibat sikap fanatik kesukuan, maka sesungguhnya hal itu tidak menjadikan kita meninggalkan berbagai riwayat shahih tentangnya. Sementara berbagai riwayat shahih telah menjelaskan namanya dan nama bapaknya, lalu jika ada manusia yang menentukan seseorang dan mengaku bahwa ia adalah al-Mahdi tanpa didukung dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskannya, maka sesungguhnya hal itu tidak menjadikan pengingakaran terhadap al-Mahdi yang disebutkan di dalam hadits.
Kemudian sesungguhnya al-Mahdi yang sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan seseorang yang mempropagandakannya, akan tetapi Allah-lah yang akan menampakkannya jika Dia menghendaki, dan manusia akan mengenalnya dengan berbagai tanda yang menunjukkannya. Adapun sangkaan adanya kontradiksi riwayat-riwayat yang ada, maka hal itu ada di beberapa riwayat yang tidak shahih, adapun hadits-hadits shahih sama sekali tidak me-ngandung kontradiksi. Hanya milik Allah-lah segala puji.
Demikian pula tentang penyelisihan Syi’ah terhadap Ahlus Sunnah (dalam masalah al-Mahdi) tidak perlu dihiraukan, sebab penentu yang adil adalah al-Kitab juga as-Sunnah yang shahih, sementara berbagai cerita dusta dari orang-orang Syi’ah dan berbagai kebathilan mereka, maka tidak boleh dijadikan acuan untuk menolak hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika berbicara tentang al-Mahdi, “Adapun kaum Rafidhah Imamiyyah, maka sesungguhnya mereka memiliki pendapat yang keempat, yaitu bahwa al-Mahdi adalah Muhammad bin al-Hasan al-‘Askari al-Muntazhar, dari keturunan al-Husain bin ‘Ali, bukan dari keturunan al-Hasan, dialah yang selalu hadir di setiap negeri tetapi tidak nampak dari pandangan, yang mewariskan tongkat dan yang akan mengakhiri, masuk ke Sardab Samura (gua) ketika masih kecil lebih dari lima ratus tahun yang lalu, setelah itu tidak ada satu pun mata yang bisa melihatnya dan tidak diketahui lagi tentangnya dengan kabar maupun bukti. Mereka (orang Syi’ah) senantiasa menunggunya sampai hari ini!! Mereka menempatkan seekor kuda di pintu Sardab (goa), dan berseru agar dia keluar kepada mereka dengan berkata, “Keluarlah wahai tuan kami! Keluarlah wahai tuan kami!” lalu mereka kembali dengan kehampaan. Inilah kebiasaan yang mereka lakukan dan sungguh indah ucapan seseorang yang berkata:
مَا آنَ لِلسَّرْدَابِ أَنْ يَلِدَ الَّذِيْ كَلَّمْتُمُوْهُ بِجَهْلِكُمْ مَا آنَا؟
فَعَلَى عُقُوْلِكُمُ الْعَـفَاءُ فَإِنَّكُمْ ثَلَّثْتُـمُ الْعَنْقََاءَ وَالْغَيْلاَنَـا
Sardab tidak akan pernah melahirkan apa-apa yang kalian seru
dengan kebodohan kalian ia tidak akan datang.
Pada otak kalian ada debu (yang menutup)
Kalian telah menjadikan bencana dan tipu daya yang ketiga
Mereka telah mempermalukan diri mereka dan menjadi bahan tertawaan bagi manusia, setiap orang yang berakal pasti akan mengejek mereka.[11]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Di antara tokoh mereka adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsiirnya al-Manaar (IX/ 499-504), Muhammad Farid Wajdi dalam kitabnya Daa-irah Ma’aarifil Qarnil ‘Isyriin (X/480), Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islaam (III/237-241), ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman dalam ta’liqnya terhadap kitab Tuhfatul Ahwadzi (VI/474), Muhammad ‘Abdullah ‘Annan dalam kitabnya Mawaaqif Haasimah fii Taarikhil Islaam (hal. 359-364), Muhammad Fahim Abu ‘Ubayyah dalam ta’liqnya terhadap kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim, karya Ibnu Katsir (I/37), ‘Abdul Karim Khatib dalam kitabnya al-Masiih fil Qur-aan wat Taurah wal Injiil (hal. 539), dan yang terakhir Syaikh ‘Abdullah bin Zaid Aal Mahmud dalam kitabnya La Mahdiyya Yuntazharu ba’dar Rasuul Shallallahu 'alaihi wa sallam Khairil Basyar.
Semuanya telah dibantah oleh Syaikh Muhammad ‘Abdul Muhsin bin Muhammad al-‘Abbad dalam kitabnya yang bermutu ar-Radd ‘alaa Man Kadzaba bil Ahaadiitsish Shahiihah al-Waaridah fil Mahdi, khususnya sebagai bantahan bagi risalah Syaikh Ibnu Mahmud, di mana beliau menjelaskan bahwa di dalam risalah tersebut ada sisi kebenarannya. Maka semoga Allah membalasnya atas kebaikan yang beliau lakukan untuk Islam juga kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.
[2]. Beliau adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Khaldun Abu Zaid, Waliyuddin al-Hadhrami al-Isybili, terkenal dengan kitabnya al-‘Ibar wa Diiwaanil Mubtada wal Khabar fi Taariikhil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar dicetak dalam tujuh jilid, yang pertama adalah al-Muqaddimah. Beliau pun memiliki beberapa karya tulis dan sya’ir. Beliau dibesarkan di Tunisia, melakukan per-jalanan ke Mesir, dan menduduki jabatan sebagai hakim di sana, wafat di Kairo pada tahun 808 H rahimahullah.
Lihat Syadzaraatudz Dzahab (VII/76-77), dan al-A’laam (III/330).
[3]. Muqaddimah Taariikh Ibni Khaldun, (I/574).
[4]. Ta’liq (komentar) Syaikh Ahmad Syakir untuk kitab Musnad Imam Ahmad (V/197-198).
[5]. Tafsiir al-Manaar (IX/499).
[6]. Al-Kisaniyyah adalah salah satu sekte dari Syi’ah Rafidhah. Mereka adalah pengikut al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid ats-Tsaqafi sang pendusta. Dia menisbatkan dirinya kepada Kaisan maula (budak) ‘Ali Radhiyallahu anhu. Ada juga yang mengatakan bahwa Kaisan adalah julukan bagi Muhammad al-Hanafiyyah.
Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 38), tahqiq Syaikh Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid.
[7]. Tafsiir al-Manaar (IX/501).
[8]. Tafsiir al-Manaar (IX/501).
[9]. Lihat Tafsiir al-Manaar (IX/501-504).
[10]. Al-Baa’itsul Hatsiits Syarh Ikhtishaar ‘Uluumil Hadiits li Ibni Katsir (hal. 25), karya Ahmad Syakir, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[11]. Al-Manaarul Muniif (hal. 152-153).