Apakah ada seseorang yang berpuasa Ramadhan, tetapi ia tidak menegakkan shalat lima waktu yang sudah menjadi kewajibannya?
Pertanyaan di atas, nampaknya tidak sulit untuk menjawabnya. Fenomena seperti itu ada di tengah masyarakat. Misalnya, tidak mengerjakan shalat lima waktu, atau jarang-jarang melakukannya, namun tidak pernah absen dalam menjalankan puasa "sebisanya" pada bulan Ramadhan. Persoalannya, lantaran pada sebagian orang ada anggapan keliru. Menurutnya, shalat wajib yang berulang sampai lima waktu dirasakan memberatkan. Padahal, bagi orang-orang yang memperoleh taufik, shalat lima waktu itu terasa nikmat. Wallahul-Hâdi.
Perhatian syariat terhadap ibadah shalat ini sangat besar. Tersirat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbâs dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, tatkala mengutus Mu'âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke negeri Yaman dalam misi dakwah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi misi dakwah hanya pada tiga persoalan utama. Yaitu bersyahadat Lâ Ilâha Illallah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Tidak menyinggung puasa maupun haji yang termasuk dari lima rukun Islam.
Penjelasannya, masuk Islam yang diawali dengan pembacaan syahadat itu terasa berat bagi orang-orang kafir. Demikian pula shalat, mengandung unsur yang seolah memberatkan karena merupakan kewajiban yang berulang-ulang. Demikian pula dengan membayar zakat, lantaran cinta harta termasuk sifat bawaan manusia. Wallahu a'lam [1]
TUGAS SUAMI MENGAJARKAN SHALAT DI TENGAH KELUARGANYA
Di dalam rumah, predikat suami ialah sebagai rabbul-bait (pemilik rumah) atau al-qawwâm (pengendali dan pengatur). Maknanya, ialah orang yang menangani sesuatu dalam bentuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.[2] Bila dihubungkan dengan konteks keluarga, maka seorang lelaki (suami) berkewajiban menangani urusan-urusan rumah tangganya. Dia memikul tanggung jawab dalam merawat, memelihara dan memperbaiki seluruh isi rumahnya.
Adapun menyediakan nafkah penghidupan bagi rumah tangganya, istri dan anaknya, bukan satu-satunya kewajiban yang dipikul oleh seorang lelaki. Jumlah tanggung jawabnya sangatlah banyak sebagai konsekuensi kedudukannya sebagai al-qawwâm yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan atas dirinya.[3]
Misalnya, masalah ketekunan keluarga untuk mendirikan shalat –yang merupakan kewajiban setiap muslim– juga mengikat dirinya sebagai ayah dan suami. Penekanan masalah ini pada seluruh anggota keluarga sangat berpengaruh bagi seisi rumah. Karena seorang hamba, jika ia benar dalam menegakkan shalatnya, maka dengan urusan lainnya dalam urusan agama, ia akan lebih menjaga dan tekun mengerjakannya. Jika ia menyia-nyiakan shalat, maka ia akan lebih menyia-nyiakan perintah lainnya dalam perkara agama.[4] Seperti disitir oleh Khalifah 'Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu:
وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِماَ سِوَاهَا أَضْيَعُ
Barang siapa menyia-nyiakannya, ia akan lebih meremehkan kewajiban-kewajiban selainnya.
Tentang perkara penting ini, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat agar Rasul-Nya yang mulia memerintahkan keluarga beliau n mendirikan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. [Thâha/20:132].
Maksudnya, "dan himbaulah keluargamu untuk mendirikan shalat, doronglah mereka untuk shalat, baik yang wajib maupun sunnah. Ini juga mengandung pengertian, sebagai perintah untuk melakukan segala sesuatu, sehingga shalat yang dikerjakannya menjadi sempurna.[5]
Termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas, ialah perintah agar mengajarkan kepada anggota keluarga perihal tata cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , perkara-perkara yang membaguskan dan menyempurnakan shalat, juga perkara-perkara yang dapat merusak dan membatalkannya. Dengan demikian, shalat itu benar-benar ditegakkan oleh seluruh anggota keluarga sesuai tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dengan mentaati perintah di atas, suami atau ayah telah melaksanakan salah satu perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pemimpin rumah tangga. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum muslimin supaya menjaga dan memelihara diri dan keluarga mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. [at-Tahrîm/66-6].
Sungguh, hal itu sangat berat dirasakan oleh jiwa manusia. Akan tetapi, seseorang harus memaksa dan melawan hawa nafsunya untuk mengerjakan kewajiban shalat dan selalu bersabar dengan ibadah ini. Karena, seseorang akan diganjar dengan kebaikan jika ia mendidik dan mengajar budak wanitanya, maka sudah tentu jika ia mendidik anak-anak dan anggota keluarganya, ia juga akan memperoleh ganjaran kebaikan dari Allah al-'Alîm asy-Syakûr.[7]
SHALAT BERJAMAAH TIDAK DI RUMAH
Dengan dalih supaya anggota keluarga, utamanya anak-anak terkontrol shalatnya, atau melatih si kecil agar mengenal ibadah shalat sejak dini, maka muncullah gejala menyediakan ruang di dalam rumah yang dikhususkan untuk ibadah, dalam hal ini shalat berjamaah dengan imam sang ayah. Padahal, masjid atau musholla tidak seberapa jauh dari rumah tinggal.
Keputusan sang ayah sebagai pemimpin keluarga, dalam hal ini kurang tepat. Lantaran syariat telah menetapkan, bahwa pelaksanaan shalat fardhu secara berjamaah dilakukan di tempat yang khusus, yaitu masjid-masjid. Kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika turun hujan. Dan konsekuensinya, dengan tidak mendatangi masjid, berarti pahala yang dijanjikan, berupa keterpautan 27 atau 25 kebaikan dibandingkan shalat sendirian pun tak dapat diraihnya. Artinya, mestinya ia tetap pergi ke masjid untuk menjalankan shalat fardhu secara berjamaah.
Menurut pemahaman para sahabat Rasulullah, bahwasanya hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat berjamaah berlaku di masjid-masjid jami' atau masjid-masjid umum, bukan di dalam rumah.[8] Para sahabat berduyun-duyun ke masjid bila ingin memperoleh pahala shalat jamaah, bukan menunaikannya di tempat tinggal mereka. Bila shalat jamaah terlewatkan, baru mereka menjalankan shalat wajib di rumah. Jadi, shalat jamaah mereka hanya di masjid saja. Sedangkan rumah untuk melaksanakan shalat-shalat munfarid (sendiri). [9]
Ibnu Nujaim rahimahullah berkata: "Barang siapa melaksanakan shalat jamaah di rumah, ia tidak mendapatkan pahala shalat jamaah, kecuali karena ada udzur (yang dibenarkan syariat, Pen.)".
Landasar penjelasan ini ialah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
Shalat seseorang di jama'ah lebih besar dibandingkan shalatnya di rumah dan pasarnya sebanyak dua puluh lima lipat. Demikian ini, tatkala ia berwudhu dan mengerjakannya dengan baik, kemudian ia keluar menuju masjid, tidak keluar melainkan untuk mengerjakan shalat (jamaah), tidaklah ia melangkahkan kakinya kecuali akan mengangkat derajatnya dan menghapus kesalahannya. Apabila ia sedang menjalankan shalat, maka malaikat akan senantiasa mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya (dengan doa): 'Ya Allah, berikanlah kebaikan baginya. Ya Allah, rahmatilah dia'. Dan salah seorang dari kalian tetap berada dalam kondisi shalat selama menantikan shalat". [HR al-Bukhâri].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas "kemudian ia keluar menuju ke masjid" merupakan 'illah (alasan) yang manshûshah (eksplisit, sangat jelas) tertuang dalam hadits, sehingga tidak boleh dikesampingkan.[10] Adapun dalam masalah mendidik dan melatih anak-anak agar mau menjalankan ibadah shalat, ada cara lain yang telah dicontohkan.
MENDIDIK ANAK DENGAN SHALAT SUNNAT DI RUMAH
Shalat yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim (laki-laki) di rumah tinggalnya, sebenarnya sudah ditentukan. Yaitu pada shalat-shalat nawâfil (shalat-shalat sunnat), semisal shalat rawaatib, dhuha, dan lainnya. Demikianlah, petunjuk dan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya menunaikan shalat-shalat sunnat ialah di rumah.
Disebutkan dalam riwayat dari Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
Sungguh, sebaik-baik shalat, (ialah) shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat maktûbah (shalat wajib). [HR al-Bukhâri dan Muslim].
Dengan melaksanakan shalat sunnat di rumah, berarti seseorang telah mengaplikasikan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghidupkannya (ihyâ`us-sunnah). Dan lagi, dengan melaksanakan shalat sunnat di rumah, berarti menambah tingkat keikhlasan dan pahala, karena jauh dari pandangan orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang keutamaan shalat sunnah di rumah :
صَلَاةُ الرَّجُلِ تَطَوُّعًا حَيْثُ لَا يَرَاهُ النَّاسُ تَعْدِلُ صَلاَتَهُ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ
Shalat sunnah seseorang dengan tanpa dilihat oleh manusia, (pahalanya) menyamai shalatnya di tengah-tengah manusia sebanyak dua puluh lima derajat. [Shahîh al-Jâmi', no. 3821].
Syaikh 'Abdul 'Azîz as-Sad-hân menyebutkan fungsi lain dalam hal pelaksanaan shalat sunnat oleh orang tua di rumah. Yaitu manfaat yang bersifat tarbawi (edukatif). Bahwa anak-anak akan terpengaruh dengan apa yang dilakukan sang ayah. Anak-anak menyaksikan sang ayah yang sedang menjalankan shalat (sunnah) dengan mata kepala mereka sendiri.
Ini terkait dengan sifat bawaan anak-anak, yaitu suka meniru apa yang dilakukan oleh orang tua mereka. Melalui sifat inilah, anak-anak diharapkan mendapatkan pengaruh positif dari shalat sunnah. Kemudian tertanam pada jiwa mereka mengenai cara menjalankan ibadah shalat secara baik dan benar. Sehingga terkadang bisa dilihat, si anak berdiri berjajar dengan ayah, atau menirukan beberapa gerakan dalam shalat.[11] Maka dalam hal ini, berarti sang ayah telah mendidik anak-anak (dan anggota keluarganya) melalui keteladanan (at-tarbiyah bil-qudwah)
KESIMPULAN
1. Shalat merupakan salah satu kewajiban terpenting.
2. Ayah (suami) wajib memerintahkan keluarganya untuk mendirikan shalat.
3. Shalat fardhu berjamaah berlaku di masjid, bukan di rumah.
4. Shalat Sunnat lebih utama dikerjakan di rumah.
5. Shalat sunnat yang dikerjakan di rumah memiliki fungsi edukatif (pendidikan) bagi anak-anak. Wallahu a'lam (Abu Minhal)
(Inti pembahasan diadaptasi dari kitab: Al-Qaulul-Mubîn fî Akhthâ`il Mushallin, halaman 266 – 268)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Aisarut-Tafâsîr (1/222)
[2]. an-Nisâ`/4 ayat 23.
[3]. Taisîrul Karîmir-Rahmân, hlm. 517.
[4]. Ibid.
[5]. Ibid.
[6]. Al-Ma'âlim, hlm. 132.
[7]. Fat-hul-Bâri, 2/135.
[8]. Faidhul-Bâri, 2/72, 193.
[9]. Al-Qaulul-Mubîn fî Akhthâ`il Mushallin, hlm. 268
[11]. Al-Ma'âlim, 138.