AISYAH berkata, “Aku mandi junub bersama Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dari satu bejana, tangan kami saling bergantian mengambil air darinya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Ada beberapa hal yang terkait dengan mandi yang merupakan akibat dari kenikmatan yang bisa melahirkan kenikmatan lagi yang patut dipahami oleh suami istri, karena ia adalah ibadah.
Pertama: Anda patut memahami bahwa kewajiban mandi ini berlaku bila sudah terjadi hubungan, dalam arti kelamin suami telah masuk walaupun belum seluruhnya walaupun tidak mengeluarkan air mani dan ia berlaku untuk keduanya, suami dan istri.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Dalam bahasa Arab seseorang dianggap junub jika dia melakukan hubungan suami istri walaupun tidak mengeluarkan.”
Nabi shallallohhu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ. متفق عليه، وَزَادَ مُسْلِم وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ .
“Jika suami duduk di antara empat cabangnya kemudian dia menggerakkannya maka telah wajib mandi.” (Muttafaq alaihi). Muslim menambahkan, “Walaupun tidak mengeluarkan.”
Dari Aisyah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana suami menggauli istrinya kemudian tidak melanjutkan, apakah keduanya wajib mandi?” Nabi menjawab sedangkan Aisyah duduk, “Aku dan wanita ini melakukan kemudian kami mandi.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Adapun pendapat yang tidak mewajibkan mandi karena hubungan suami istri kecuali bila mengeluarkan air mani, maka ini hanya berlaku di awal Islam kemudian mansukh. Imam an-Nawawi berkata, “Masalah ini tidak diperselisihkan hari ini, sekalipun sebelumnya ada khilaf dari sebagian sahabat, kemudian ijma’ terjadi atas apa kami sebutkan.”
Kedua: Bila suami hanya merapat ke “gawang” dan tidak menceploskan “bola” ke dalamnya, bila tidak ada hujan, maka keduanya tidak wajib mandi, bila ada hujan, bila dari keduanya maka kedua wajib mandi, bila dari suami saja maka suami yang wajib mandi.
Dasarnya adalah hadits Ummu Sulaim yang bertanya kepada Nabi tentang seorang wanita yang bermimpi, apakah dia wajib mandi, Nabi menjawab, “Ya, bila dia melihat air.” Muttafaq alaihi. Artinya bila orang mimpi dan basah maka dia harus mandi, maka orang terjaga dan basah lebih patut.
Ketiga: Tidak adanya air bukan halangan dan alasan untuk menolak ajakan istri lebih-lebih ajakan suami. Karena bila tidak ada air, bisa diganti dengan tayamum. Tayamum tidak hanya menggantikan wudhu, tetapi juga mandi. Jadi lakukan saja tanpa merasa bersalah dan sesudahnya bertayamum. [Sumber: Sofwah]