YANG di maksud “kiblat adalah ka’bah”. Dinamakakn kiblat kerena manusia menghadapkan wajah mereka dan mengarahkan kepadanya. Awalnya Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam mengerjakan shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mendirikan shalat menghadap ke ka’bah, sebagaimana di kisahkan oleh Al Bara bin Azib Rodiallahuanhu berkata :
“Aku mendirikan shalat bersama Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan ,hingga turunlah ayat dalam surah Al Baqarah (144): ‘Dan di mana saja kalian berada palingkanlah (hadapkanlah) wajah kalian ke arahnya’.
Ayat ini turun setelah Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam mendirikan shalat.Lalu pergilah salah seorang diantara mereka yang hadir shalat berjamaah bersama Nabi. Ia melewati orang-orang Anshor yang sedang mendirikan shalat (dalam keadaan masih menghadap Baitul Maqdis) maka ia pun menyampaikan kepada mereka tentang perintah perpindahan arah kiblat.Mendengar hal tersebut orang-orang Anshor pun memalingkan wajah-wajah mereka ke arah Baitullah .(HR. Muslim no 1176)
ORANG YANG MELIHAT KA’BAH DAN TIDAK MELIHATNYA
Bagi orang yang mendirikan shalat dalam keadaan dapat melihat ka’bah , maka wajib baginya mendirikan shalat persis menghadap ke ka’bah.(walaupun dengan arah mata angin yang berbeda-beda) , seperti keadaan orang yang mendirikan shalat di masjidil Haram.. Adapun orang yang tidak bisa menyaksikan ka’bah secara langsung karena negerinya jauh dari Mekkah misalnya , maka wajib baginya menghadap ke arah kiblat.
KAPAN GUGUR KEWAJIBAN MENGHADAP KIBLAT?
Menghadap kiblat sebagai slah satu syarat sah nya shalat , dapat gugur kewajibannya dalam keadaan -keadaan berikut:
1. Shalat Tathawwu (shalat sunnah)bagi orang yang berkendaraan , baik kendaraan berupa hewan maupun alat transportasi.
Jabir bin Abdillah al-Anshari Rodiallahuahu berkata: “Adalah Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam mengerjakan shalat sunah di atas hewan tunggangan nya ke arah mana saja hewan itu menghadap. Namun bila Beliau hendak mengerjakan shalat fardu ,Beliau turun dari tunggangannya lalu menghadap kiblat. (HR. Al bukhari no 4000)
Amir bin Rabi’ah Rodiallahuanhu berkata :”Aku melihat Rosulullah Shalallahu alaihi Wasalam mendirikan Shalat nafilah di atas hewan tunggangan nya menghadap ke arah mana saja hewan itu menghadap,Beliau memberi isyarat denegan kepalanya (ketika melakukan ruku’ dan sujud) . Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam tidak pernah melakukan hal itu dalam shalat fardu nya.” (HR.Al Bukhari no 1097).
2. Shalat Orang yang di cekam rasa Takut
Seperti dalam keadaan perang ,orang yang sakit,orang yang lemah , dan orang yang di paksa(di bawah tekanan).Orang yang tidak mampu menghadap kiblat disebabkan rasa takut,sakit , atau dipaksa , ataupun dalam situasi berkecamuk perang maka diberi udzur baginya untuk mendirikan shalat dengan tidak menghadap kiblat , berdasarkan Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
……فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا ۖ
Artinya :”Jika kalian dalam keadaan takut maka dirikanlah shalat dalam keadaan berjalan kaki atau berkendaraan.”
Ibnu Umar Rodiallahuanhum setelah menjelaskan tata cara shalat khauf , pada akhirnya beliau berkata:
“Bila keadaan ketakutan lebih dasyat dari pada itu ,mereka mendirikan shalat dengan berjalan di atas kaki-kaki mereka atau berkendaraan , dalam keadaan mereka menghadap kiblat atau tidak,” (HR.Al Bukhari no 4535).
Ibnu Umar juga berkata : “Aku pernah berperang bersama Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam di arah Najd.Kami berhadapan dengan musuh,lalu beliau mengatur shaf/barisan kami untuk menghadapi musuh .Setelahna Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam mendirikan shalat mengimami kami,” (HR.Al Bukhari no 942).
Hadist di atas menunjukan bahwa dalam situasi perang seorang tidak harus menghadap kiblat. Namun dia bisa saja menghadap kemana saja tergantung arah musuh.
ORANG YANG TERSAMAR BAGINYA ARAH KIBLAT
Jabir Rodiallahuanhu berkata:“Kami pernah bersama Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam dalam satu pasukan perang.Ketika itu kami di timpa mendung hingga kami bingaun dan berselisih arah kiblat. Pad akhirnya masing -masing dari kami mendirikan shalat menurut arah yang di yakininya .Mulailah salah seorang di antara kami membuat garis di hadapanya guna mengetahui posisi kami. Ketika pagi hari ,kami melihat gagris tersebut dan dari situ kami mengetahui bahwa kami mendirikan shalat tidak menghadap ke arah kiblat. Kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi ,namun Beliau tidak menyuruh kami untuk mengulangi shalat. Beliau bersabda:”Shalat kalian telah mencukupi”(HR. Ad Daruquthni ,Alhakim, dll.Dihassankan Asy-syaikh Al Albani Rohimahullah dalam Al Irwa1/323)
Abdullah bin Umar Rodiallahuanhu berkata : “Tatkala orang-orang sedang mengerjakan shalat subuhdi Quba’ , tiba-tiba ada seorang yang datang dan berkata: “Semalam telah diturunkan kepada Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam ayat Al Quran . Beliau di perintahkan mendirikan shalat menghadap ke ka’bah.mendengar hal tersebut,orang-orang yang sedang mendirikan shalat itupun mengubah posisinya menghadap ke arah ka’bah.Tadinya wajah mereka menghadap kearah Syam, kemudian mereka membelakanginya untuk menghadapke arah ka’bah. (HR. Al Bukhari no 403,4491,7251,dan Muslim no 1178)
Hendak nya seseorang mencurahkan segala upaya untuk mengetahui arah kiblat . Bila jelas baginya setelah selesai mendirikan shalat bahwa dia menghadap ke arah selain kiblat ia tidak perlu mengulanginya lagi , karena shalat yang telah di kerjakannya telah mencukupi(Subulus Salam 1/213)
Kondisi pertama
APABILA seorang tidak mampu menghadap kiblat seperti seorang yang sakit dan wajahnya menghadap ke arah selain kiblat. Dirinya tidak mampu menghadapkan wajahnya ke arah kiblat ketika hendak shalat. Maka, dalam kondisi demikian, gugurlah kewajiban menghadap kiblat berdasarkan firman Allah ta’ala, “Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuan,” [At-Taghabun: 16].
Dan juga firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya,” [Al-Baqarah: 286].
Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila aku memerintahkan kalian, maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian,” [HR. Bukhari 7288 dan Muslim 1337].
Kondisi kedua
Apabila seorang berada dalam ketakutan yang teramat sangat seperti seorang yang lari dari ancaman musuh, binatang buas, atau dari ombak yang akan menenggelamkannya. Dalam kondisi demikian, dirinya shalat kemanapun dia menghadapkan wajahnya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui,” [Al Baqarah: 239].
Firman-Nya, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya)” merupakan lafadz yang umum mencakup segala jenis takut. Adapun firman-Nya, “Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” menunjukkan dzikir apapun yang ditinggalkan seseorang karena takut tidaklah menimbulkan dosa dan termasuk yang dibolehkan dalam hal ini adalah (meninggalkan) kewajiban menghadap kiblat.”
Kondisi ini pun ditunjukkan dalam dua ayat yang mulia dan hadits yang disebutkan sebelumnya yang menyatakan kewajiban itu bergantung kemampuan seseorang dalam melaksanakannya.
Kondisi ketiga
Kewajiban menghadap kiblat ketika shalat juga gugur ketika melaksanakan shalat sunnah di kala safar, baik shalat tersebut dilaksanakan di pesawat, mobil, atau unta. Dalam kondisi ini, seorang diperbolehkan melaksanakan shalat sunnah, baik itu shalat witir, tahajjud, dluha dan shalat sunnah yang lain dengan menghadapkan wajah ke arah manapun.
Patut diketahui pula bahwa seorang musafir dianjurkan mengerjakan shalat sunnah layaknya seorang yang mukim kecuali shalat sunnah rawatib seperti shalat Zhuhur, Maghrib dan Isya’ karena yang sesuai dengan tuntunan adalah tidak mengerjakan ketiganya ketika bersafar.
Jika seorang musafir hendak mengerjakan shalat sunnah, maka dia boleh mengerjakannya ke arah manapun wajahnya menghadap. Hal inilah telah ditetapkan dalam hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam Shahihain.
Inilah tiga kondisi dimana kewajiban menghadap kea rah kiblat ketika shalat menjadi gugur.
Adapun seorang yang tidak mengetahui arah kiblat, dirinya tetap berkewajiban shalat menghadap kiblat. Akan tetapi, ketika dia telah berusaha maksimal mencari arah kiblat dan ternyata setelah itu dia mengetahui bahwa dirinya melaksanakan shalat dengan tidak menghadap kiblat, dalam keadaan ini dia tidak berkewajiban mengulangi shalat. Kami juga tidak berpendapat bahwa kewajiban menghadap kilat gugur dari dirinya. Tapi, dia wajib shalat menghadap kiblat dan berusaha maksimal untuk mencari arah kiblat. Dan jika ternyata setelah berusaha maksimal dirinya shalat tidak menghadap kiblat, dia tidak perlu mengulangi shalat.
Dalilnya adalah tindakan para sahabat yang tidak mengetahui perubahan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram. Pada saat itu mereka melaksanakan shalat Subuh di masjid Quba dan datanglah seorang pria mengatakan, “Sesungguhnya telah turun wahyu kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semalam dan beliau diperintahkan untuk shalat menghada Ka’bah. Maka hendaklah kalian shalat menghadap ke arahnya.” Para sahabat yang semula shalat menghadap Syam kemudian membalikkan badan ke arah Ka’bah [HR. Bukhari (403) dan Muslim (526)].
Sebelumnya Ka’bah berada di belakang mereka dan akhirnya mereka pun menjadikannya di depan mereka. Pada saat itu mereka membalikkan badan kea rah Ka’bah dan tetap meneruskan shalat mereka. Hal ini terjadi di masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkari tindakan mereka sehingga hal ini sejalan dengan syari’at, yaitu jika seorang yang shalat keliru dalam menentukan arah kiblat karena ketidaktahuannya, maka dia tidak wajib mengulanginya. Namun, jika dia mengetahui kekeliruannya tersebut di tengah-tengah pelaksanaan shalat, maka dia harus segera menghadap kiblat.
Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat. Shalat tidaklah sah jika hal itu tidak dilaksanakan kecuali dalam tiga kondisi yang disebutkan di atas, dan bisa juga dikatakan tercakup dalam pengecualian tersebut adalah ketika seorang yang shalat dan keliru menghadap ke selain kiblat setelah dia berusaha maksimal mencari arah kiblat. (Majmu’ Fatawa Ibn ‘Utsaimin 12/433-435). Wallahu a’lam. [pernik muslim]