Oleh : Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA
Bentuk-Bentuk Tabarruj [1]
1. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan meliputi seluruh badan wanita, seperti jilbab yang diturunkan dari kedua pundak dan bukan dari atas kepala [2]. Ini bertentangan dengan makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ
“Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka” [al-Ahzaab: 59].
Karena jilbab seperti ini akan membentuk/mencetak bagian atas tubuh wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai syariat Islam.
2. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang terpotong dua bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian atas dan yang lain untuk bagian bawah. Ini jelas bertentangan dengan keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya.
3. Termasuk tabarruj: memakai jilbab yang justru menjadi perhiasan bagi wanita yang mengenakannya.
Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar rumah adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلا لِبُعُوْلَتِهِنَّ أو آبائِهِنَّ...
“Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak mereka…” [an-Nuur: 31].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Tujuan diperintahkannya (memakai) jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi perhiasannya, maka tidak masuk akal jika jilbab (yang dipakainya justru) menjadi perhiasan (baginya). Hal ini, sebagaimana yang anda lihat, sangat jelas dan tidak samar” [3]
Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab gaul” atau “jilbab modis” yang banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman ini, yang dihiasi dengan renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya sebagai perhiasan baginya.
Insya Allah, pembahasan tentang ini akan penulis ulas lebih rinci pada pembahasan berikutnya dalam tulisan ini.
4. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Adapun pakaian tipis maka itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat) cantik dan menggoda. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.
Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak sekian dan sekian” [4]
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian (dari) bahan tipis yang transparan dan tidak menutupi (dengan sempurna), maka mereka disebut berpakaian tapi sejatinya mereka telanjang” [5]
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam “al-Muwaththa’” (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul Kubra” (8/72), dari Ummu ‘Alqamah dia berkata: “Aku pernah melihat Hafshah bintu ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan dahinya, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma merobek kerudung tersebut dan berkata: “Apakan kamu tidak mengetahui firman Allah yang diturunkan-Nya dalam surah an-Nuur?”. Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meminta kerudung lain dan memakaikannya”.
5. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang menggambarkan (bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti jilbab/pakaian yang ketat yang dikenakan oleh banyak kaum wanita jaman sekarang, sehingga tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Karena tujuan dari memakai jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang ini hanya dapat terwujud dengan (memakai) jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun jilbab/pakaian yang ketat, meskipun menutupi kulit akan tetapi membentuk postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada pandangan mata laki-laki. Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan pemicunya, oleh karena itu (seorang wanita) wajib (mengenakan) jilbab/pakaian yang longgar” [6]
Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab/pakaian dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya, sebagaimana hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian yang dipakai para wanita di jaman ini [7]
Dalam fatwa Lajnah daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang syarat-syarat pakaian/jilbab yang syar’i bagi wanita, disebutkan di antaranya: hendaknya pakaian/jilbab tersebut (kainnnya) tebal (sehingga) tidak menampakkan bagian dalamnya, dan pakaian/jilbab tersebut (kainnya) tidak bersifat menempel (di tubuh) [8]
Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat yang mulia, Usamah bin Zaid Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan untukku pakaian qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal, pakaian itu adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pakaian itu aku berikan untuk istriku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku: “Kenapa kamu tidak memakai pakaian qibthiyah tersebut?”. Aku berkata: “Aku memakaikannya untuk istriku”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Suruh istrimu untuk memakai pakaian dalam di bawah pakaian qibthiyah tersebut, karena sungguh aku khawatir pakaian tersebut akan membentuk postur tulangnya (tubuhnya)” [9].
Dalam hadits ini ada satu faidah penting, yaitu bahwa pakaian qibthiyah tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tapi meskipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakain dalam lain, agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi jika pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya.
Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ketika al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, beliau mengirimkan sebuah pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma, pada waktu itu Asma’ Radhiyallahu anhuma dalam keadaan buta matanya. Lalu Asma’ Radhiyallahu anhuma meraba pakaian tersebut dengan tangannya, kemudian beliau berkata: “Cih! Kembalikan pakaian ini padanya!”. al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan berkata kepada ibunya: Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis! Maka Asma’ Radhiyallahu anhuma berkata: “Meskipun pakaian ini tidak tipis tapi membentuk (tubuh orang yang memakainya” [10].
6. Termasuk tabarruj: wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam betrsabda: “Seorang wanita, siapapun dia, jika dia (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita itu adalah seorang pezina” [11].
Bahkan dalam hadits shahih lainnya [12], Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita yang keluar rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di mesjid, maka tentu larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang keluar rumah untuk ke pasar, toko dan tempat-tempat lainnya.
Oleh karena itu, imam al-Haitami menegaskan bahwa keluar rumahnya seorang wanita dengan memakai wangi-wangian dan bersolek, ini termasuk dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya [13]
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh wangi-wangian dikarenakan hal ini sungguh merupakan sarana (sebab) untuk menarik perhatian laki-laki kepadanya. Karena baunya yang wangi, perhiasannya, posturnya dan kecantikannya yang diperlihatkan sungguh mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita ketika keluar rumah (untuk shalat berjamaah di mesjid) agar tidak memakai wangi-wangian, berdiri (di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan tidak bertasbih (sebagaimana yang diperintahkan kepada laki-laki) ketika terjadi sesuatu dalam shalat, akan tetapi (wanita diperintahkan untuk) bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu dalam shalat). Semua ini dalam rangka menutup jalan dan mencegah terjadinya kerusakan (fitnah)” [14].
7. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan, dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki” [15]
Dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [16]
Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian maupun hal lainnya [17]
Oleh karena itulah, para ulama salaf melarang keras wanita yang memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah ditanya tentang wanita yang memakai sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki” [18]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang yang memakaikan budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka beliau berkata: “Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model) laki-laki, tidak boleh dia menyerupakannya dengan laki-laki” [19]
Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita yang memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana panjang model laki-laki [20]
Juga perlu diingatkan di sini, bahwa larangan wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya berlaku secara mutlak di manapun mereka berada,di dalam rumah maupun di luar, karena ini diharamkan pada zatnya dan bukan sekedar karena menampakkan aurat [21].
8. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang modelnya berbeda dengan pakaian wanita pada umumnya, dengan tujuan untuk membanggakan diri dan populer.[22]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat (nanti), kemudian dinyalakan padanya api Neraka” [23]
Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini, karena sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara berlebihan serta ingin tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, mereka memberikan perhatian sangat besar kepada perhiasan dan dandanan untuk menjadikan indah penampilan mereka.
Berapa banyak kita melihat wanita yang tidak segan-segan mengorbankan biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan memperindah model pakaiannya, supaya dia tampil beda dengan pakaian yang dipakai wanita-wanita lainnya. Maka dengan itu dia jadi terkenal, bahkan model pakaiannya menjadi ‘trend’ di kalangan para wanita dan dia disebut sebagai wanita yang tau model pakaian jaman sekarang.
Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai pakaian ini ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan.
Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar rumah, karena ini diharamkan pada zatnya [24].
_______
Footnote
[1]. Ringkasan dari pembahasan dalam kitab “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 87-109), tulisan syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, dengan sedikit tambahan.
[2]. Lihat “fataawa lajnah daimah” (17/141).
[3]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 120).
[4]. Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani, dan hadits kedua riwayat imam Muslim (no.
[5]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125-126).
[6]. Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[7]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 132-133). Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain kaos yang lentur dan jelas membentuk anggota tubuh wanita yang memakainya, wallahu a’lam.
[8]. Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141).
[9]. HR Ahmad (5/205) dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131).
[10]. Riwayat Ibnu Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul kubra” (8/252) dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 127).
[11]. HR an-Nasa'i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban (no. 4424) dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[12]. Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 1031).
[13]. Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 139).
[14]. Kitab “I’lamul muwaqqi’iin” (3/178).
[15]. HR Abu Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (1/588), Ahmad (2/325), al-Hakim (4/215) dan Ibnu Hibban (no. 5751), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 141).
[16]. HSR al-Bukhari (no. 5546).
[17]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 146-147).
[18]. HR Abu Dawud (no. 4099) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[19]. Kitab “Masa-ilul imam Ahmad” karya imam Abu Dawud (hal. 261).
[20]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 150), “Syarhul kaba-ir” (hal. 212) tulisan syaikh al-‘Utsaimin dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 100-101).
[21]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38) dan syaikh al-‘Utsaimin dalam “Syarhul kaba-ir” (hal. 212).
[22]. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 213).
[23]. HR Abu Dawud (no. 4029), Ibnu Majah (no. 3607 dan Ahmad (2/92), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[24]. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38).