Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
3. Dalil-Dalil dari as-Sunnah yang Menunjukkan Akan Kedatangannya
Telah diriwayatkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan akan munculnya al-Mahdi. Di antara hadits-hadits ini ada yang khusus menyebutkan tentang al-Mahdi, ada juga yang hanya menyebutkan sifat-sifatnya.[1] Di sini kami akan menjelaskan sebagian hadits-haditsnya, dan hal itu sudah cukup dalam menetapkan kemunculannya pada akhir zaman sebagai tanda dari tanda-tanda Kiamat.
a. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَخْرُجُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِـي الْمَهْدِيُّ؛ يُسْقِيْهِ اللهُ الْغَيْثَ، وَتُخْرِجُ اْلأَرْضُ نَبَاتَهَا، وَيُعْطِى الْمَالَ صِحَاحًا، وَتَكْثُرُ الْمَاشِيَةُ، وَتَعْظُمُ اْلأُمَّةُ، يَعِيْشُ سَبْعًا أَوْ ثَمَانِيًا (يَعْنِي: حِجَجًا).
“Pada akhir umatku akan keluar al-Mahdi. Allah menurunkan hujan kepadanya, bumi mengeluarkan tumbuhannya, harta akan dibagikan secara merata, binatang ternak melimpah dan umat menjadi mulia, dia akan hidup selama tujuh atau delapan (yakni, musim haji).”[2]
b. Dan darinya (Abu Sa’id) Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ؛ يُبْعَثُ عَلَـى اخْتِلاَفٍ مِنَ النَّاسِ وَزَلاَزِلَ، فَيَمْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جُوْرًا وَظُلْمًا، يُرْضِـى عَنْهُ سَاكِنُ السَّمَاءِ وَسَاكِنُ اْلأَرْضِ، يَقْسِمُ الْمَالَ صِحَاحًا.
‘Aku berikan kabar gembira kepada kalian dengan al-Mahdi, yang diutus saat manusia berselisih dengan banyaknya keguncangan. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kelaliman dan kezhaliman sebelumnya. Penduduk langit dan penduduk bumi meridhainya, ia akan membagikan harta dengan cara shihaah (merata).’
Seseorang bertanya kepada beliau, ‘Apakah shihaah itu?’ Beliau menjawab, ‘Dengan merata di antara manusia.’”
Beliau bersabda:
وَيَمْلأُ اللهُ قُلُوْبَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غِنًـى، وَيَسَعُهُمْ عَدْلُهُ، حَتَّى يَأْمُرَ مُنَادِيًا، فَيُنَادِيْ، فَيَقُوْلُ: مَنْ لَهُ فِـي مَالٍ حَاجَةٌ؟ فَمَا يَقُوْمُ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ رَجَلٌ، فَيَقُوْلُ: اِئْتِ السَّدَّانَ -يَعْنِي: الْخَازِنَ-، فَقُلْ لَهُ: إِنَّ الْمَهْدِيَّ يَأْمُرُكَ أَنْ تُعْطِيْنِيْ مَالاً. فَيَقُوْلُ لَهُ: اِحْثِ، حَتَّـى إِذَا حَجَرَهُ وَأَبْرَزَهُ؛ نَدِمَ، فَيَقُوْلُ: كُنْتُ أَجْشَعَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ نَفْسًا، أَوْ عَجِزَ عَنِّي مَا وَسِعَهُمْ؟ قَالَ: فَيَرُدُّهُ، فَلاَ يُقْبَلُ مِنْهُ فَيُقَالُ لَهُ: إِنَّا لاَ نَاْخُذُ شَيْئًا أَعْطَيْنَاهُ، فَيَكُوْنُ كَذَلِكَ سَبْعَ سِنِيْنَ أو ثَمَانِ سِنِيْنَ أَوْتِسْعَ سِنِيْنَ، ثُمَّ لاَ خَيْرَ فِي الْعَيْشِ بَعْدَهُ أَوْ قَالَ: ثُمَّ لاَ خَيْرَ فِي الْحَيَاةِ بَعْدَهُ.
“Dan Allah memenuhi hati umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekayaan (rasa puas), meliputi mereka dengan keadilannya, sehingga dia memerintah seorang penyeru, maka penyeru itu berkata, ‘Siapakah yang memerlukan harta?’ Lalu tidak seorang pun berdiri kecuali satu orang. Dia (al-Mahdi) berkata, ‘Temuilah penjaga (gudang harta) dan katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya al-Mahdi memerintahkan mu untuk memberikan harta kepadaku.’ Kemudian dia (penjaga) berkata kepadanya, ‘Ambillah sedikit!’ Sehingga ketika dia telah menyimpan di pangkuannya dan menampak-kannya, dia menyesal dan berkata, ‘Aku adalah umat Muhammad yang jiwanya paling rakus, atau aku tidak mampu mencapai apa yang mereka capai?’” Beliau berkata, “Lalu dia mengembalikannya dan harta itu tidak diterima, maka para penjaga gudang harta berkata padanya, ‘Sesungguhnya kami tidak menerima apa-apa yang telah kami berikan.’ Demikian-lah yang akan terus terjadi selama tujuh tahun atau delapan tahun atau sembilan tahun, kemudian tidak ada lagi kehidupan yang baik setelah itu.” Atau beliau berkata, “Kemudian tidak ada lagi hidup yang baik se-telahnya.”[3]
Hadits ini menunjukkan bahwa setelah kematian al-Mahdi akan muncul kejelekan dan berbagai fitnah besar.
c. Diriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمَهْدِيُّ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ، يُصْلِحُهُ اللهُ فِيْ لَيْلَةٍ.
‘Al-Mahdi dari keturunan kami; Ahlul Bait, Allah akan memperbaikinya dalam satu malam.’”[4]
Ibnu Katsir berkata, “Maknanya adalah memberikan taubat, memberikan taufik kepadanya, mengilhaminya, dan membimbingnya padahal sebelumnya tidak demikian.”[5]
d. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمَهْدِيُّ مِنِّي، أَجْلَى الْجَبْهَةِ، أَقْنَى اْلأَنْفِ، يَمْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجُوْرًا، يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِيْنَ.
‘Al-Mahdi dari keturunanku, dahinya lebar, hidungnya mancung. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana bumi telah dipenuhi dengan kezhaliman dan kelaliman sebelumnya. Dia akan berkuasa selama tujuh tahun.’”[6]
e. Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِيْ، مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ.
‘Al-Mahdi berasal dari Ahlul Baitku, dari keturunan Fathimah.’”[7]
f. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ، فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمْ اَلْمَهْدِيُّ: تَعَالَ صَلِّ بِنَا، فَيَقُوْلُ: لاَ؛ إِنَّ بَعْضَهُمْ أَمِيْرُ بَعْضٍ؛ تَكْرِمَةَ اللهِ هَذِهِ اْلأُمَّةَ.
‘‘Isa bin Maryam turun, lalu pemimpin mereka, al-Mahdi berkata, ‘Shalatlah mengimami kami!’ Dia berkata, ‘Tidak, sesungguhnya sebagian dari kalian adalah pemimpin bagi sebagian yang lainnya, sebagai suatu kemuliaan yang Allah berikan kepada umat ini.’”[8]
g. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنَّا الَّذيْ يُصَلِّي عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ خَلْفَهُ.
‘Orang yang menjadi imam bagi ‘Isa bin Maryam di dalam shalatnya adalah dari golongan kami.’”[9]
h. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda:
لاَ تَذْهَبُ أَوْ لاَ تَنْقَضِي الدُّنْيَا حَتَّى يُمْلِكَ الْعَرَبُ رَجَلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ، يُوَاطِىءُ اِسْمُهُ اِسْمِيْ.
‘Dunia tidak akan hilang atau tidak akan lenyap hingga seseorang dari Ahlul Baitku menguasai bangsa Arab, namanya sama dengan namaku.”[10]
Dalam satu riwayat:
يُوَاطِىءُ اِسْمُهُ اِسْمِيْ وَاسْمُ أَبِيْهِ اِسْمَ أَبِيْ.
“Namanya sama dengan namaku dan nama bapaknya sama dengan nama bapakku.”[11]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Syaikh ‘Abdul ‘Alim bin ‘Abdil ‘Azhim telah melakukan penelitian berbagai pendapat tentang hadits-hadits al-Mahdi di dalam risalahnya yang berjudul al-Ahaadiits fil Mahdi fii Miizaanil Jarh wat Ta’diil untuk mendapatkan gelar S2. Beliau menyebutkan para imam yang meriwayatkannya, menyebutkan pendapat para ulama tentang sanad untuk setiap hadits, hukum atasnya, kemudian hasil yang didapatkannya. Maka siapa saja yang ingin mendapatkan penjelasan lebih luas, hendak-lah ia membaca risalah tersebut, karena ia adalah rujukan paling luas dalam pembicaraan tentang hadits-hadits al-Mahdi, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad di dalam Majallah al-Jaami’ah al-Islaamiyah (edisi 45/hal. 323).
Kesimpulan dari yang beliau sebutkan adalah berupa hadits-hadits marfu’, demikian pula atsar-atsar dari para Sahabat dan yang lainnya sebanyak 336 riwayat. Di antaranya 32 hadits dan 11 atsar, semua-nya ada di antara shahih dan hasan, yang secara jelas menyebutkan kata al-Mahdi sebanyak 9 hadits dan 6 atsar, sementara selebihnya hanyalah menyebutkan sifat-sifat dan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa semuanya ada pada diri al-Mahdi.
Banyak dari kalangan para Hafizh (ahli hadits) yang menshahihkan hadits-hadits al-Mahdi. Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhaajus Sunnah fii Naqdhi Kalaamisy Syii’ah wal Qadariyyah (IV/211), al-‘Allamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Manaarul Muniif fish Shahiihi wadh Dha’iif (hal. 142 dan yang setelahnya), tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, dan dishahihkan pula oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitabnya an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/24-32) tahqiq Dr. Thaha Zaini, dan para ulama lainnya sebagaimana akan dijelaskan.
[2]. Mustadrak al-Hakim (IV/557-558), beliau berkata, “Sanad hadits ini shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Al-Albani berkata, “Ini adalah sanad yang shahih, perawinya tsiqat.” Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (II/336, no. 711).
Dan lihat Risalah ‘Abdul ‘Alim Ahaadiitsul Mahdi fii Miizaanil Jarh wat Ta’diil (hal. 127-128).
[3]. Musnad Imam Ahmad (III/37, Muntakhab al-Kanz).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya dengan banyak diringkas, dan diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad-sanadnya, Abu Ya’la dengan sangat diringkas dan para perawi keduanya tsiqat.” Majmaa’uz Zawaa-id (VII/313-314).
Lihat ‘Aqidatu Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdil Muntazhar (hal. 177), karya Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad.
[4]. Musnad Ahmad (II/58, no. 645), tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih,” dan Sunan Ibni Majah (II/1367).
Dan hadits ini dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (VI/22, no. 6611).
[5]. An-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim (I/29) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[6]. Sunan Abi Dawud, kitab al-Mahdi (XI/375, no. 4265), dan Mustadrak al-Hakim (IV/557), beliau berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat Muslim, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.”
Adz-Dzahabi berkata, “‘Imran (salah satu perawi hadits) lemah, dan Muslim tidak menjadikannya sebagai perawi.”
Al-Mundziri mengomentari sanad Abu Dawud, “Di dalam sanadnya ada ‘Imran al-Qaththan, dia adalah Abul ‘Awam ‘Imran bin Dawir al-Qaththan al-Bashri. Al-Bukhari menjadikannya sebagai penguat, ‘Affan bin Muslim mentsiqatkannya, dan Yahya bin Sa’id al-Qaththan memujinya, sedangkan Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i melemahkannya.” Aunul Ma’buud (XI/375).
Adz-Dzahabi berkata dalam al-Miizaan, “Ahmad berkata, ‘Aku berharap dia sebagai perawi yang haditsnya shalih (baik).’” Abu Dawud berkata, “Lemah.” Miizaanul I’tidaal (III/236).
Ibnu Hajar mengomentarinya, “Shaduq Yuhammu, dan dituduh sebagai orang yang berpola pikir Khawarij.” Taqriibut Tahdziib (II/83).
Ibnul Qayyim mengomentari sanad Abu Dawud, “Jayyid,” al-Manaarul Muniif (hal. 144) tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah.
Al-Albani berkata, “Sanadnya hasan,” Shahiihul Jaami’ (VI/22-23, no. 6616).
[7]. Sunan Abi Dawud (XI/373), dan Sunan Ibni Majah (II/1368).
Al-Albani berkata dalam Shahiihul Jaami’, “Shahih.” (VI/22, no. 6610).
Lihat Risalah ‘Abdul ‘Alim tentang al-Mahdi (hal. 160).
[8]. HR. Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya, begitu juga diriwayatkan dalam al-Manaarul Muniif, karya Ibnul Qayyim (hal. 147-148), dan al-Haawi fil Fataawaa', karya as-Suyuthi (II/64).
Ibnul Qayyim berkata, “Ini adalah sanad yang jayyid.”
Dishahihkan oleh ‘Abdul ‘Alim di dalam risalahnya tentang al-Mahdi (hal. 144).
[9]. HR. Abu Nu’aim dalam Akhbaarul Mahdi sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi di dalam al-Haawi (II/64), dan beliau memberikan lambang dengan dha’if, demikian pula al-Manawi dalam Faidhul Qadiir (VI/17).
Al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (V/219, no. 5796).
‘Abdul ‘Alim berkata dalam risalahnya, “Sanadnya hasan dengan beberapa penguat.” (hal. 241).
[10]. Musnad Ahmad (V/199, no. 485), tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
At-Tirmidzi (VI/485), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
Dan Sunan Abi Dawud (XI/371).
[11]. Sunan Abi Dawud (XI/370).
Al-Albani berkata, “Shahih,” Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (V/70-71, no. 5180).
Lihat Risaalah ‘Abdul ‘Alim fil Mahdi (hal. 202).
Kedua riwayat ini semuanya berporos kepada ‘Ashim bin Abi an-Najwad, dia perawi tsiqah dengan haditsnya yang hasan.
Imam Ahmad mengomentarinya, “Dia seorang yang shalih, dan aku memilih riwayat dari sahabat-sahabatnya,” Abu Hatim mengomentari beliau, “Ia terdaftar dalam catatanku sebagai orang yang jujur, haditsnya shalih, dan dia tidak disebut sebagai orang yang banyak hafal hadits dengan keadaan-nya itu.” Al-‘Uqaili berkata, “Tidak ada apa-apa pada dirinya kecuali hafalannya yang jelek,” ad-Daraquthni berkata, “Di dalam hafalannya ada kelemahan,” adz-Dzahabi berkata, “Beliau tsabit (bagus) dalam membaca (qira-ah), akan tetapi di dalam menyampaikan hadits beliau tidak demikian, beliau perawi jujur namun sering salah, haditsnya hasan.” Dan beliau berkata, “Ahmad dan Abu Zur’ah berkata, ‘Tsiqah,’” dia pun berkata, “Asy-Syaikhani meriwayatkannya, akan tetapi mengguna-kan penyerta yang lainnya, tidak menjadikannya sebagai landasan dan tidak pula diriwayatkan secara menyendiri.” Ibnu Hajar berkata, “Shaduq, beliau memiliki wahm (keragu-raguan), hujjah di dalam qira-ah.”
Lihat Miizaanul I’tidaal (II/357), Taqriibut Tahdziib (I/383), dan ‘Aunul Ma’buud (XI/372).