Oleh Abu Sahlah Beta Sagita, STP
Para pembaca, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Pembahasan tentang monosodium glutamate (MSG) saat ini terasa sangat perlu untuk kita bahas. Selain karena banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada penulis, juga karena masalah ini telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Banyak konsumen tidak ingin makanannya mengandung MSG (penyedap rasa). Tapi kenyataannya, jajanan yang mengandung MSG terbukti lebih laku dibandingkan yang tidak mengandung MSG.
Tetapi, ada satu pertanyaan dasar yang belum terjawab. Apakah MSG berbahaya bagi kesehatan? Tulisan ini dibuat untuk meluruskan persepsi yang salah yang terdapat di masyarakat tentang MSG. Karena tujuannya meluruskan pemahaman yang kurang tepat, dengan sangat terpaksa penulis menyebutkan dua pendapat terlebih dahulu. Penulis melakukannya agar nantinya tidak ada orang yang berkata, “Sesungguhnya Profesor Fulan berkata begini. Sesungguhnya Dokter Fulan berkata begitu”. Lantaran semua pendapat itu memang ada. Tetapi kita mencari pendapat yang terkuat.
PENDAPAT PERTAMA : MSG BERBAHAYA
Dalil pertama : Telah dilakukan penelitian kepada dua kelompok tikus laboratorium. Satu kelompok disuntikan MSG 0,5-4gr/kg berat badan setiap hari. Satu kelompok tidak. Ternyata setelah beberapa lama, tikus yang tidak mengonsumsi MSG tetap lincah dan memiliki respon yang lebih tanggap. Adapun tikus yang diberikan MSG mengalami kerusakan otak.
Dalil kedua : Sudah merupakan realita bahwa orang yang sering makan makanan yang mengandung MSG sering menderita sakit kepala, pegal-pegal di punggung bagian atas, dan otot-otot leher menjadi keras. Inilah yang dikenal di dunia pangan dengan Chinese restaurant syndrome. Coba saja pada tubuh kita sendiri. Jika kita tidak mengonsumsi MSG dalam waktu lama, penyakit tersebut hilang dengan sendirinya. Penulis secara pribadi pernah mencobanya.
PENDAPAT KEDUA : MSG TIDAK MEMBAHAYAKAN KESEHATAN
Dalil pertama : Pemerintah masih membolehkan MSG beredar di masyarakat. Sebuah pemerintah, tidak mungkin memiliki hobi meracuni rakyatnya. Bahkan FAO (lembaga PBB) membolehkan MSG
Dalil kedua : MSG terdiri dari dua zat. Pertama adalah sodium atau natrium dan itu merupakan mineral yang diperlukan tubuh. Kedua adalah glutamate dan itu adalah bahan pembentuk protein (asam amino) yang juga diperlukan tubuh. Dari semenjak manusia awal menginjakkan kaki di muka bumi, dua jenis zat gizi ini sudah dikonsumsi. Tidak ada satu pun yang mengeluhkan masalah kesehatan disebabkan oleh dua zat ini.
Dalil ketiga : Garam dapur mengandung dua zat, yaitu natrium dan klorida. Sedangkan MSG mengandung dua zat, yaitu natrium dan glutamate. Jika MSG berbahaya, haruslah garam juga berbahaya karena unsurnya hampir sama. Bahkan MSG lebih baik daripada garam, karena mengandung glutamate yang lebih diperlukan oleh tubuh dibanding klorida. Tetapi tidak ada satu pun dokter yang mengharamkan garam (kecuali pada penderita darah tinggi dan semisalnya).
PENDAPAT MENENGAH
Harap diketahui, bahwa pendapat yang menyatakan MSG berbahaya bukanlah kesepakatan seluruh ahli pangan, sebagaimana yang bisa kita lihat. Cukuplah sebagai bukti akan pernyataan penulis ini adalah kenyataan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih membolehkannya. Di dalamnya terdapat banyak ahli di berbagai bidang. Sebagiannya Doktor bahkan Profesor.
Bagaimana dengan penelitian pada tikus yang mengakibatkan tikus mengalami kerusakan otak? Mereka menyatakan bahwa tikus menjadi seperti itu ketika disuntikkanb MSG 0,5-4gr/kg berat badan. Dijawab, bahwa dosis tersebut pada tikus sangat ekstrem. Itu sama saja menyuntikkan 30 sampai 240 gram/kg berat badan pada manusia. Tentu saja tikus yang mengonsumsinya sakit. Kenyataannya tidak ada manusia yang mengonsumsi MSG sebanyak itu dalam sehari. Apalagi sampai menyuntikkannya ke darah.
Sebenarnya kalau kita mau sedikit saja teliti, kita akan menjumpai tulisan dalam kemasan MSG, bahwa dosis yang dianjurkan adalah setengah sendok teh untuk lima mangkuk. Glutamate sebenarnya tidak bermasalah jika dikonsumsi dengan jumlah yang cukup banyak sekalipun. Akan tetapi natrium, sebagaimana natrium yang ada pada garam, hanya boleh dikonsumsi dalam jumlah terbatas. Konsumsi natrium berlebih merupakan salah satu pendorong meningkatnya resiko darah tinggi. Itulah yang kemudian dirasa oleh tubuh sebagai pusing, pegal-pegal dan otot leher tegang.
Lalu, mengapa MSG dianggap berbahaya sedangkan garam tidak? Ada satu kaidah dalam dunia pangan, “Di mana ada yang enak, di situ ada bahaya”. Maknanya, bahwa makanan yang enak membuat kita mengonsumsinya dalam jumlah banyak. Sedangkan semua, jika melebihi dosis dan ukurannya tentulah akan membawa kerusakan.
Garam rasanya asin. Jika terlalu banyak tentu makanan menjadi tidak enak, bahkan tidak bisa dimakan. Adapun MSG, rasanya gurih dan nikmat. Semakin banyak ditambahkan akan semakin gurih.
Ambil contoh, bakso. Tentunya tidak semua bakso. Ada bakso-bakso yang menurut penulis sangat aman. Tetapi maksud penulis adalah, sebagian penjual bakso. Mereka memasukakan MSG ke dalam daging giling. Mereka juga memasukkan MSG ke dalam panci perebusan. Ketika di mangkuk, mereka memasukkan satu sendok teh MSG lagi.
Kita mungkin tidak tahu berapa MSG yang dimasukkan ke dalam daging giling dan panci perebusan. Tetapi jika kita hanya menghitung MSG yang ada di dalam mengkuk, kita dapati bahwa MSG tersebut mencapai 5 kali lipat dari dosis yang dianjurkan. Lalu bagaimana pula jika jumlah tersebut ditambahkan dengan MSG yang ada di daging giling dan panci pererbusan? Tentulah ini yang mengakibatkan berbagai masalah pada kesehatan.
ALTERNATIF PENGGANTI MSG
Adakah alternatif pengganti MSG. Banyak orang berkata, “Jika tidak mau pakai MSG, pakai saja garam ditambah gula”. Perkataan ini perlu ditinjau ulang. Pertama, rasa MSG adalah umami (seperti gurih) sedangkan gula, manis dan garam, asin. Kedua, setelah dicoba, memang rasanya berbeda. Mungkin saja enak, tetapi beda. Bukan gurih. Suatu rasa yang berbeda.
Yang lebih tepat, kita harus kembalikan kepada zat penyusun MSG. Natrium bisa didapatkan pada garam. Adapun glutamate adalah asam amino pembentuk protein. Asam amino bisa didapatkan dari air kaldu. Jadi, air kaldu ditambah garam bisa memiliki rasa yang sama dengan MSG.
Cara kedua, dengan menambahkan kemiri dalam bumbu masakan. Kemiri menimbulkan rasa gurih (umami) pada masakan. Penulis pribadi telah mencobanya dan memang penggunaan bawang merah, bawang putih, dan kemiri pada bumbu cukup dapat menggantikan penggunaan MSG.
Cara ketiga, hampir mirip cara pertama, kita gunakan kecap ikan. Kecap ikan diperoleh dari penguraian daging ikan sehingga menghasilkan asam amino. Dalam proses pembuatannya, kecap ikan juga mengandung garam yang menghasilkan rasa gurih jika ada bersama dengan asam amino. Untuk alasan yang sama, kecap asin bisa juga digunakan.
Cara keempat, gunakalanlah bumbu kaldu bubuk dalam kemasan. Sekalipun masih mengandung MSG, jumlah MSG-nya sudah sesuai takaran. Misalkan satu bungkus untuk lima porsi. Berarti untuk satu panci sop (misalkan) hanya butuh satu bungkus.
Sebagai penutup, sebetulnya jika sudah memiliki nomor Badan POM, maka bisa dipastikan keamanannya. Hanya saja, bagi orang yang sudah mengonsumsi banyak MSG dalam sehari, tentunya dia tidak ingin mengonsumsinya melebihi yang mampu diterima tubuh. Maka hendaknya menghindari MSG tetap dilakukan, sehingga jika suatu saat ingin jajan di luar rumah atau bahkan terpaksa makan di luar (mengingat hampir semua jajanan mengandung MSG), MSG yang kita konsumsi masih dalam batas yang wajar.
Pustaka
1. http://www.mayoclinic.com/health/monosodium-glutamate/AN01251
2. http://www.eufic.org/article/en/artid/monosodium-glutamate/
3. http://en.wikipedia.org/wiki/Monosodium_glutamate
4. Dan rujukan lainnya
[Disalin dari Majalah al-Mawaddah Vol. 60 Rabi'ul AKhir 1434H/Februari - Maret 2013, Alamat Redaksi Ponpes al-Furqon al-Islami, Srowo - Sedayu - Gresik, Jawa Timur 61153, Telp. 081 3305 32666]