oleh: Shalih Hasyim
BARU saja kita meninggalkan tahun 1434 H. Kini, sudah dua pekan kita memasuki tahun baru 1435 H. Itu berarti terjadi pergantian masa. Dan umur individu dan bangsa terus mengalami penyusutan.
Perjalanan, rute, yang kita lalui akan menuju satu titik. Bukan jalan di tempat. Masa akhir akan menghampiri. Itulah karakteristik dunia ini.
Datang dan pergi. Muncul dan tenggelam. Pasang-surut. Terus bergerak dan berputar, tanpa henti. Kadang di atas, kadang di bawah. Itulah pergiliran dan perguliran waktu.
Sesungguhnya pergeseran waktu, perputaran malam dan siang, tidak saja peristiwa alam yang bersifat natural (thabii),tetapi merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah سبحانه وتعالى .
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran (3) : 190).
Demikian pula kehidupan kita. Tak seorang pun di antara kita mengetahui sampai kapan kesempatan hidup di dunia diberikan oleh Allah سبحانه وتعالى secara cuma-cuma ini. Dan tiada satu pun jiwa yang mengetahui apa gerangan yang akan dilakukan di esok hari. Dan di belahan bumi mana kelak dia akan mengakhiri kehidupannya.
إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman (31) : 34).
Manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha (ikhtiar) – memilih faktor-faktor yang terbaik yang mendukung keberhasilan). Adalah suatu karunia yang sangat besar, bahwa Allah سبحانه وتعالى menjadikan ajal kita ini, sebagai suatu yang gaib/rahasia. Dengan demikian, setiap manusia mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah سبحانه وتعالى setiap saat pagi, siang, dan malam.
Sehingga, dalam situasi ketidakpastian, kita bisa beramal shalih lebih baik. Menjalani hidup ini lurus. Tidak berhenti menanam dan mengukir amal shalih.Tanpa menghiraukan persepsi pihak lain, baik pro maupun kontra. Jadi, setiap saat di antara kita, tidak ada yang meyakini kapan hidup akan berakhir.
Rasulullah menceritakan kepada kita bahwa, “Boleh jadi di antara kalian ada yang melakukan amal-amal ahli surga, sehingga jarak antara dia dan surga tinggal sehasta, tetapi dalam takdir Allah (ilmu Allah) ia akan masuk neraka. Dan boleh jadi di antara kalian melakukan amal-amal ahli neraka, sehingga jarak antara dia dan neraka tinggal sehasta, tetapi dalam ilmu Allah, kelak ia masuk surga. Dalam keadaan itu ia mengakhiri kehidupannya.”
Maka beliau mengajarkan doa: “Ya Allah, jadikanlah usiaku yang paling baik adalah penghujungnya. Dan amal yang terbaik adalah pada pungkasannya. Dan hari-hari yang terbaik adalah di mana hari-hari saya bertemu dengan-MU.“
Jadi, ukuran kebaikan seseorang di sini, bukanlah awal kehidupannya, atau pertengahannya, tetapi akhir kehidupannya.Jadi setiap individu dan bangsa memiliki masa ajal. Kita hanya dibingkai oleh masa lalu, kini dan esok hari.
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”(QS. Ali Imran (3) : 185)
Berkali-kali Allah سبحانه وتعالى menekankan masalah ini. Terutama ayat-ayat Makiyah. Sebelum menekankan akhir dari kehidupan pertama manusia, yaitu masalah ajal. Karena dengan menekankan masalah ajal, kita selalu ingat terhadap titik akhir dan titik nadir kemana kita bergerak, meniti jejak, dan berjalan.Apa yang paling menggoda dan membuat terlena, tergoda dan tertipu. Salah satunya, karena ajal tidak diketahui. Akhir kehidupan tidak pernah didefinisikan secara detail sebelumnya. Nikmat kesesaatan, nikmat kemudahan, seringkali membuat orang tidak menyadari hidup kelak akan berakhir.
Al-Quran berkali-kali memberikan setressing tentang masalah ajal. Memberikan titik tekan masalah kematian. Sesungguhnya yang di inginkan oleh Al-Quran, juga Rasulullah Saw. ialah agar saat kita menyadari titik terakhir ke mana kita menuju dan kembali. Atau menyadari visi dan misi kehidupan.
Sesungguhnya keimanan bermula dari titik kesadaran akan kesementaraan hidup. Karakteristik dunia yang fluktuatif dan pasang surut. Bermula dari yang disebut Ibnu Qoyyim. Saat di mana jiwa kita terhenyak oleh realitas kehidupan kedua setelah dunia.Maka bagian yang paling menggugah dan menyentuh keimanan, kesadaran yang kuat tentang waktu.
Waktu diberikan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam tiga lapisan :
Lapisan pertama, individu waktu yang diberikan setiap manusia yang kita sebut dengan umur.
Lapisan kedua, umur masyarakat.
Setiap hubungan masyarakat memiliki umur tertentu. Ada saat-saat kematiannya. Allah سبحانه وتعالى mengatakan :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 34).
Dengan kata lain, tiap-tiap bangsa mempunyai batas waktu kejayaan atau keruntuhan.
Rasul mengatakan :
اِنَّ لِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلْ وَاِنَّ لِاُمَّتي مائة سَنَةً
“Manusia itu memiliki usia tertentu. Dan usia (kurun) umatku hanya seratus tahun (satu abad).”
Dalam al-Quran Allah berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali Imran : 110).
Ternyata, itu bukan sebuah pernyataan yang konstan, yang tetap berlaku sepanjang masa. Umar bin Khaththab menyatakan tentang ayat itu, maka penuhilah syarat-syarat Allah سبحانه وتعالى tentang kriteria umat.
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus bagi umat ini di penghujung setiap seratus tahun (seabad) seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini.” (Hadits Riwayatkan Al-Imam Abu Dawud)
3. Lapisan ketiga, sejarah
Waktu yang dimulai sejak Allah سبحانه وتعالى menciptakan Adam. Dan akan berakhir ketika Allah سبحانه وتعالى menghancurkan bumi dengan peristiwa kiamat :
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman (55) : 26-27)
Seperti itu waktu berlapis-lapis. Paling kecil dari waktu ialah individu. Menjadi ruang lingkup pertanggung jawaban kita masing-masing.
Kesadaran tentang waktu, ternyata banyak tidak disadari oleh umat manusia. Bukan hanya oleh umat muslim, tetapi oleh seluruh umat manusia. Masalahnya, apa yang bisa membuat kita mampu dari setiap detik yang berlaku?
Setiap waktu yang kita lalui sama dengan gambaran berikut ini. Ibarat sebuah pohon, maka pohon kehidupan kita setiap hari daun-daunnya akan layu dan berguguran.
Itulah sebabnya Rasulullah menasihati kita: “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang akan memutus kenikmatan dunia. Biasakanlah untuk hidup tetap kasar. Hidup bersahaja. Kenikmatan itu selalu ada.”
Bahkan beliau menyuruh kita untuk ziarah kubur, agar ingatan kita tentang kesementaraan hidup di dunia dan kekekalan kehidupan hari esok (akhirat) lebih kuat mempengaruhi cara kita berpikir, cara kita merasa, dan cara kita berperilaku.*
Kesadaran Tentang Akhir Kehidupan
Sekarang kita mencermati terapan dalam pribadi Rasulullah yang memiliki akhlak yang agung (khuluqin ‘azhim). Setiap kali beliau menuju tempat pembaringan, beliau meyakini secara utuh bahwa tidur adalah saudara kematian. Imam Al-Ghozali mengatakan An Naumu syabihatul maut (tidur itu serupa dengan kematian).Setiap kali kita tidur, Allah سبحانه وتعالى mengembalikan ruh itu pada shubuh hari. Jika Allah سبحانه وتعالى menghendaki, tidak akan mengembalikan ruh itu ke dalam jasad kita.
Rasulullah menganjurkan kepada kita ketika menjelang tidur melakukan persiapan-persiapan sebagaimana yang kita lakukan ketika akan menghadapi datangnya kematian. Kita diperintahkan untuk berwudhu, shalat witir tiga rokaat, bermuhasabah. Jadi, muhasabah bukan setiap awal tahun. Terlalu sulit mengkalkulasi dosa kita yang demikian menumpuk. Kemudian menuju ke tempat pembaringan dan berdoa :
“Ya Allah kuserahkan segala urusanku kepada-MU. Dan kuhadapkan wajahku kepada-MU. Dan kuserahkan urusanku kepada-MU. Dan kusAndarkan punggungku hanya kepada-MU. Dengan penuh harapan ridha-MU. Tidak ada tempat kembali, juga tidak ada tempat menemukan keselamatan dari siksa-MU kecuali hanya kepada-MU. Saya beriman kepada kitab yang Engkau turunkan. Dan kepada Rasul-rasul-MU yang telah Engkau utus. Jadikanlah kalimat-kalimat itu sebagai ucapan terakhir.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnul Qayyim menjelaskan, bahwa doa-doa itu kita senandungkan menjelang kematian. Doa itu mengandung tiga unsur rukun iman. Iman kepada Allah سبحانه وتعالى , iman kepada kitab-kitab-Nya dan iman kepada Rasul-rasul-Nya. Itu selalu kita ucapkan menjelang tidur.
Oleh itu, ketika kita terbangun maka doa yang kita ucapkan : Segala puji bagi Allah سبحانه وتعالى yang telah menghidupkan kami kembali dan kepada-Nya kelak kembali.
Ingatan yang paling kuat tentang kematian dilakukan oleh uswah, qudwah kita menjelang tidur. Suatu hari dari perjalanan hidup kita, kita susun kembali. Seakan-akan hari tidak akan pernah kembali untuk selama-lamanya.
Dalam kenyataan kehidupan keseharian, unsur kematian dan hari akhirat sepatutnya menggugah kesadaran kita tentang waktu. Jika ada dorongan untuk berbuat maksiat, condong ke bumi, dorongan untuk menjadi tidak berdaya menghadapi godaan, mengharuskan untuk bermuhasabah. Seperti pertanyaan-pertanyaan berikut : Apa yang terjadi jika saya berbuat maksiat, tiba-tiba meninggal, bagaimana bertemu dengan Allah سبحانه وتعالى . Padahal kata Rasulullah bahwa seorang yang sakaratul maut (mabuk kematian) berbanding lurus dengan hobinya ketika hidup di dunia. Sesungguhnya peristiwa kematian manusia itu sama. Cuma caranya yang berbeda.
Pernah ada sebuah video yang merupakan disertasi doktor di Jerman. Disertasi ini memotret berbagai cara untuk mati. Terdiri dari enam kaset video. Semua cara mati dia perlihatkan secara agak detail. Mulai dari cara mati biasa. Mati dalam keadaan sakit. Mati disetrum listrik di penjara. Mati digigit buaya. Mati karena ditabrak lari. Semua bentuk kematian. Ada yang mati dalam keadaan mudah, ada yang meninggal dalam keadaan yang sulit.
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُؤُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحاً إِنَّا مُوقِنُونَ
“Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS. As Sajdah (32) : 12).
Ada yang mengakhiri kehidupannya ini jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”(QS. Al Fajr (89) : 27-30).
Ada yang menerima catatan amalnya dengan tangan kanan, ada pula yang menerima catatan amalnya dengan tangan kiri.
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ
فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَاباً يَسِيراً
وَيَنقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُوراً
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاء ظَهْرِهِ
فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُوراً
وَيَصْلَى سَعِيراً
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. Al Insyiqaq (84) : 7-12)
Mengertilah kita, Islam menganjurkan kita sering-sering berjalan di kuburan. Berjalan seorang diri. Merenung. Mengenang. Tafakkur. Berdialog dengan diri sendiri. Meningkatkan penghayatan kita tentang hakikat kehidupan. Karena setiap kita diberikan dorongan yang kuat untuk menikmati. Setelah diberikan kenikmatan, membuat kita selalu panjang angan-angan (thulul amal). Thulul amal membuat kita lalai tentang hakikat kehidupan, kata Ali bin Abi Thalib.
Kita tertarik dengan buku Steven Covey. Karena terkait dengan cara mengakhiri kehidupan. Ia mengatakan, bayangkanlah suatu hari anda berjalan menuju sebuah yayasan, yang mengurusi prosesi kematian.
Misalnya, membuat keranda jenazah. Bayangkan Anda memesan keranda tersebut. Ketika jenazah dibawah ke ambulance, bayangkan anda masuk ke dalam keranda itu. Lalu anda benar-benar berada di dalam keranda. Dan sudah menjadi mayat. Keluarga dan teman-teman dekat mengantar untuk yang terakhir. Sesudah anda di tanam di alam kubur, makam ditutup. Orang-orang berada di atas pusara memberikan beberapa sambutan dan berdoa.
Bayangkan yang memberi sambutan ada empat orang. Yang pernah terikat dengan Anda begitu luas dan dalam. Pertama, keluarga Anda. Kedua, teman sekerja anda. Ketiga, teman organisasi. Keempat, sahabat karib tempat menumpahkan seluruh rahasia hidup Anda. Jika mereka semua mengetahui anda dengan baik, berarti apa yang mereka ucapkan, dengan sendirinya sesuai dengan yang lahir dari pengetahuan yang obyektif .
Bayangkan anda sekarang sudah masuk di dalam kubur. Pada hari itu tidak memiliki hak untuk menjawab dan kesempatan untuk membela diri. Apapun yang mereka katakan, itulah yang diakui orang. Tanyakan kepada diri Anda. Apakah yang anda inginkan dari ucapan keempat orang itu ketika memberi sambutan. Jika Anda membawa pertanyaan-pertanyaan ke dalam renungan sehari-hari dalam kesadaran. Anda membisiki jiwa Anda dengan pertanyaan itu dari waktu ke waktu dengan pertanyaan itu. Niscaya Anda akan menemukan suatu gambaran kepribadian kita masing-masing.
Siapakah diri kita? Apakah mereka betul-betul kehilangan dengan kepergian kita. Atau biasa-biasa saja.
Ada yang perlu direnungkan di sini, ungkapan ahli sastra Arab berikut : اِذاَ حَمَلْتَ اِلَى الْقُبُوْرِ جَناَزَةً فاَعْلَمْ بِأَنَكَ مَحْمُوْلُ * وَاِذاَ وُلِيْتَ أُمُورَ قَوْم فاَعْلَمْ بِأَنَكَ مَعْزُوْلُ
“Apabila engkau membawa keranda jenazah ke kuburan, ingatlah suatu saat engkau akan dibawa. Jika engkau diserahi urusan kaum, ingatlah suatu ketika engkau akan dimakzulkan (dilengserkan).”*