Oleh, Ayati Fa
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dirinya dan dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Allah meliputi aqidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya meliputi akhlak, makanan/minuman dan pakaian. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan uqubat.
Islam telah memberikan solusi dalam masalah pribadi yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam masalah ini, Islam telah menetapkan hukum tertentu, baik yang berkaitan dengan aktifitasnya maupun benda yang digunakan sebagai sarana dalam memenuhi aktifitasnya. Hukum-hukum Islam tentang pakaian adalah hukum yang membahas tentang benda (hukmu al-asyya’), bukan hukum perbuatan (hukmu al-af’al).
Dimana hukum perbuatan terikat dengan al-ahkam al-khamsah (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), sedangkan hukum bagi benda adalah halal-haram atau mubah-haram. Karena pakaian merupakan benda yang digunakan seseorang untuk menutup aurat, maka pakaian adalah bendanya sedangkan menutup aurat adalah perbuatan atau aktifitasnya. Berkaitan dengan benda berlaku kaidah ushul: ”Hukum asal suatu benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.” Dengan demikian, hukum benda yang berkaitan dengan pakaian, hukum asalnya adalah mubah berdasarkan dalil umum, dan menjadi haram apabila ada dalil khusus yang mengharamkannya. Misalkan, ada pakaian yang diharamkan karena menyerupai umat lain (berdasarkan dalil tasyabbuh bi al-kuffar).
Kewajiban Menutup Aurat
Syariat Islam telah mewajibkan laki-laki dan wanita untuk menutup aurat, agar masing-masing bisa menjaga pandangannya. Sebab, aurat adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh terlihat, baik laki-laki maupun wanita. Sedangkan selain aurat, tidak ada larangan bagi laki-laki dan wanita untuk melihatnya dengan pandangan yang wajar.
Allah swt berfirman:
”Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. [QS. Al A’raaf [7] : 26]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan; ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat. Para ulama pun tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya menutup aurat. Mereka hanya berbeda pendapat tentang batasan tubuh mana yang termasuk aurat.
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya ia berkata:
”Sesungguhnya Asma Binti Abu Bakar datang menemui Rasulullah saw, sedangkan ia mengenakan pakaian tipis. Nabi saw pun segera berpaling darinya seraya bersabda, ”Wahai Asma, jika seorang wanita telah akil baligh, tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.” [HR. Abu Dawud]
Di dalam hadist lain dituturkan, bahwa Rasulullah saw bersabda;
”Barangsiapa melihat aurat, hendaklah ia menutupinya.” [HR. Abu Dawud]
”Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.” [HR. Muslim]
Dari dalil-dalil di atas tampak jelas kewajiban seorang wanita untuk menutup auratnya. Bahkan wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan aurat, berbusana tipis dan berlenggak-lenggok akan mendapatkan ancaman yang sangat keras dari Allah swt.
Mengenai batasan aurat wanita, jumhur ulama bersepakat bahwa aurat wanita meliputi seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt [QS. An Nuur [24] : 31]
Menurut Imam Thabariy, makna yang lebih tepat untuk ”perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh kelihatan di kehidupan umum. Penafsiran semacam ini didasarkan pula pada sebuah riwayat:
Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma Binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw pun berpaling seraya berkata; ”Wahai Asma, sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini. Sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.” [HR. Muslim]
Dengan demikian wanita wajib menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis, yaitu yang tidak memungkinkan apa yang ada di sebaliknya tergambar, dimana warna kulitnya haruslah tertutup.
Kewajiban Memakai Khimar dan Jilbab
Pembahasan di atas adalah hal yang berkaitan dengan menutup aurat. Dan pembahasan ini tidak tepat bila dicampuradukkan dengan pembahasan pakaian wanita pada saat berada dalam kehidupan umum. Dengan kata lain, selain memerintahkan menutup aurat, Syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk memakai busana khusus ketika hendak keluar rumah. Dimana, kewajiban menutup aurat disatu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana jilbab+khimar adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak dapat dicampuradukkan, sehingga bisa muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam masalah menutup aurat, Syariat Islam tidak menentukan bentuk pakaian tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat, tentu tetap bahan yang tidak tipis dan harus mampu menutupi warna kulit. Sehingga boleh memakai model dan bahan apapun selama tidak tasyabbuh bi al-kuffar. Namun ketika seorang muslimah hendak keluar rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, meskipun pakaian itu sudah dapat menutupi auratnya dengan sempurna. Dalam hal ini seorang muslimah yang akan keluar rumah wajib memakai kerudung (khimar) dan jilbab yang dikenakan menutupi pakaian sehari-hari.
Dalil yang menunjukkan kewajiban memakai khimar adalah firman Allah:
”Dan hendaklah mereka mengulurkan kain kerudung ke dadanya…” [QS. An Nuur:31]
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan;
”Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar, yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id Bin Jabir berkata, ”wal yadlribna: ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apa-apa darinya.
Perintah mengenakan jilbab, Allah swt berfirman;
”Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Al Ahzab:59]
Ayat di atas merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita mukminat mengenai kewajiban mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, ”Jilbab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbab adalahridaa’ (jubah atau mantel). Adapula yang menyatakan al-qanaa’ (kerudung). Adapun yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh nadan). Dari Ummu ’Athiyyah, bahwasanya ia berkata, ”Ya Rasulullah, salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab, ”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya.” [HR. Mulim]
Kemudian jilbab juga disyaratkan untuk diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua telapak kaki. Dalam konteks ini, Ibnu Umar pernah menuturkan:
Rasulullah saw telah bersabda, ”Siapa saja yang mengulurkan pakaiannya karena sombong Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, ”Lantas, bagaimana dengan ujung pakaian yang dibuat oleh para wanita?” Rasulullah menjawab, ”Hendaklah diulurkan sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, ”Kalau begitu, akan tampak kedua telapak kakinya.” Rasulullah menjawab lagi, Hendaklah diulurkan sehasta dan jangan ditambah.” [HR. Abu Dawud]
Hadist ini menjelaskan bahwa pakaian luar (jilbab) mesti diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua telapak kaki. Kedua telapak kaki wanita yang telah tertutup dengan kaus kaki ataupun sepatu tidak cukup dikatakan telah irkha(mengulurkan jilbab ke bawah hingga menutupi kedua telapak kakinya). Dalam hal ini, yang dipentingkan bukanlah menutup kedua telapak kaki dengan kaus kaki atau sepatu, tetapi secara nyata mengulurkan jilbab sampai ke bawah.
Subhanallah, jelaslah bahwa wanita wajib mengenakan jilbab dan khimar di atas pakaian kesehariannya jika hendak keluar rumah. Lalu, apabila seorang muslimah hendak keluar rumah tapi tidak memiliki jilbab, hendaklah ia meminjam kepada muslimah yang lain yang bersedia meminjaminya. Jika tidak ada yang meminjaminya, tetap ia tidak boleh keluar rumah meskipun telah menutup seluruh auratnya dengan pakaian rumah.
Diriwayatkan dari Ummu ’Athiah yang berkata, ”Rasulullah saw memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan) pada hari raya Iedul Fitri dan Iedul Adha, baik ia budak wanita, wanita haidl, maupun yang perawan. Adapun bagi orang-orang yang haidl maka menjauh dari tempat shalat, namun menyaksikan kebaikan dan seruan kaum Muslim. Lalu aku berkata: ”Wahai Rasulullah saw, salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab.” Maka Rasulullah saw menjawab, ”Hendaklah saudaranya itu meminjamkan jilbabnya.” [HR. Muslim]
Kewajiban muslimah untuk menjaga pandangan, menutup aurat, mengenakan khimar+jilbab ketika berada di luar rumah telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang pasti penunjukannya. Namun, sayangnya banyak muslimah yang awam terhadap ketentuan-ketentuan itu. Bahkan, sebagian mereka ada yang menolak kewajiban menutup aurat dan mengenakan khimar+jilbab di kehidupan umum, dengan alasan yang dibuat-buat. Mereka berdalih belum siap, belum mendapatkan hidayah, bahkan ada yang menolak dengan tegas kewajiban tersebut dengan alasan Islam tidak mewajibkan wanita mengenakan khimar+jilbab. Sebab, khimar dan jilbab adalah tradisi berbusana orang Arab, sehingga hanya berlaku khusus orang Arab. Sebagian lagi ada yang berdalih, bahwa ’illat memakai jilbab adalah agar bisa dibedakan antara wanita merdeka dengan budak, sehingga wanita merdeka tidak diganggu. Karena saat ini sudah tidak ada lagi budak wanita, sehingga’illat pensyariatan jilbab sudah tidak berlaku lagi. Dan mungkin masih banyak alasan-alasan yang lain.
Sungguh, alasan-alasan di atas tidak dapat dijadikan hujjah untuk menolak kewajiban berkhimar dan berjilbab. Dimana, perintah mengenakan khimar dan jilbab telah disebutkan dengan tegas di dalam al-Quran. [QS. An-Nuur:31 dan QS. Al-Ahzab:59]
Di dalam QS. An-Nuur:31 dan QS. Al-Ahzab:59 tersebut merupakan perintah Allah kepada wanita-wanita Mukminat agar mereka mengenakan khimar yang diulurkan mulai dari kepala hingga menutupi dada; dan jilbab yang diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua telapak kaki. Konteks yang diperintahkan sangat jelas, yakni khimar dan jilbab, sedangkan pihak yang diseru untuk melaksanakan kewajiban tersebut adalah wanita-wanita Mukminat secara umum, bukan hanya wanita-wanita Mukminat Arab. Oleh karena itu, perintah mengenakan khimar dan jilbab berlaku umum untuk seluruh wanita-wanita Mukminat dimanapun mereka tinggal. Sebab, perintah mengenakan khimar dan jilbab tidak ada hubungannya dengan budaya Arab atau tidak, akan tetapi berkaitan dengan perintah Allah swt yang termaktub di dalam al-Quran. Selama wanita tersebut adalah wanita Mukminat, maka ia terkena taklif untuk mengenakan khimar dan jilbab.
Sementara yang menolak kewajiban jilbab dengan alasan ”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu” sebagai ’illat, dan ketika ’illat nya hilang, maka hukum mengenakan jilbab tidak berlaku lagi, juga tertolak.
Benar, terkait QS. Al-Ahzab:59, para mufassir menyatakan, bahwa latar belakang turunnya ayat itu berhubungan dengan wanita-wanita merdeka yang diganggu oleh laki-laki ketika keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan. Karena pakaian yang dikenakan mirip dengan budak, sehingga mereka sering mendapatkan gangguan.
Selanjutnya Allah swt memerintahkan kepada wanita-wanita mukminat merdeka untuk mengenakan jilbab agar mereka bisa dikenali dan dibedakan dari budak-budak wanita. Namun, frase ”yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal” bukanlah ’illat pensyariatan jilbab bagi wanita Mukminat. Sebab, tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ’illatpensyariatan jilbab adalah supaya bisa dikenal, sehingga jika sudah bisa dikenal dan dibedakan, kewajiban itu tidak berlaku kembali. Frase tersebut hanya menunjukkan fungsi atau faedah disyariatkannya jilbab, bukan menjadi’illat (sebab) mengapa jilbab disyariatkan.
Dan tidak ada satupun petunjuk, baik dari sisi manthuq maupun mahfum, yang menunjukkan, bahwa frase tersebut adalah ’illat pensyariatan jilbab. Bahkan, seandainya frase tersebut ditetapkan sebagai ’illat hukum, hal itu justru akan bertentangan dengan al-Quran dan sunnah yang telah mewajibkan wanita untuk menutup aurat, menjaga pandangan, mengenakan khimar dan jilbab ketika keluar rumah.
Kesimpulan:
- Syariat Islam telah mewajibkan laki-laki dan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika melaksanakan ibadah tertentu yang harus menutup aurat.
- Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.
- Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar (tidak boleh transparan).
- Busana yang harus dikenakan wanita Muslimah saat keluar dari rumah adalah khimar dan jilbab.
- Khimar adalah kain kerudung yang diulurkan hingga menutupi dada.
- Jilbab adalah pakaian terusan yang dikenakan di atas pakaian sehari-hari dan wajib diulurkan hingga menutupi kedua telapak kaki. Jilbab wajib dikenakan ketika wanita hendak keluar dari rumah.
Wallahu a’lam..
Penulis adalah aktifis FLP Bogor dan aktif pada program radio Cermin Wanita Sholihah MHTI yang bekerjasama dengan berbagai radio di tanah air.