Mungkin tidak jarang kita mendengar seorang laki-laki yang sangat baik dengan kita ketika bergaul, akan tetapi ternyata dia hobi main pukul dengan istrinya dan suka membentak serta menghardik istrinya. Ya, salah satu tolak ukur akhlak sebenarnya laki-laki adalah penilaian dari istri. Mengapa?
Karena suami umumnya mempunyai “kekuasaan” atas istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istrinya karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena bisa jadi statusnya yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari oleh orang lain.
Wanita adalah mahkluk yang lemah di hadapan laki-laki, jika seseorang bisa mengusai dirinya dalam bermuamalah dengan orang yang lemah maka itu penampakan akhlaknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Mubarakfuriy,
“Karena kesempurnaan iman akan mengantarkan kepada kebaikan akhlak dan berbuat baik kepada seluruh manusia. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, karena mereka para wanita adalah tempat meletakkan kasih sayang disebabkan kelemahan mereka.”1
Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”2
Beliau juga bersabda:
خَيْرُكُمْخَيْرُكُمْلِأَهْلِهِوَأَنَاخَيْرُكُمْلِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku”3
Demikianlah bahwa akhlak di seseorang bersama istrinya adalah akhlak sebenarnya. Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah berkata,
“Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa orang yang paling tinggi kebaikannya tertinggi dan yang paling berhak untuk disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya. Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat dan penolakan mudharat. Jika seorang lelaki bersikap demikian maka dia adalah orang yang terbaik, namun jika keadaannya adalah sebaliknya maka dia telah berada di sisi yang lain yaitu sisi keburukan.
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”4
Catatan Kaki
1 Tuhfatul Ahwazi 4/273, Darul Kutub Al-‘ilmiyah, Beirut, Syamilah
2 HR At-Thirmidzi no 1162,Ibnu Majah no 1987 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 284
3<supHR At-Thirmidzi no 3895,Ibnu Majah no 1977, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 285
4 Nailul Authar 6/245-256, Darul hadits, Mesir, cet. I, 1413 H, Syamilah
—
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen